=====================WELCOME TO IAN ITU CEMPLOON====================

Rabu, 16 Januari 2013

SEPATU KACA

1.
PERPISAHAN

            “Maaf ibu harus meninggalkan rumah ini segera” kata salah satu dari dua lelaki yang bertubuh besar dengan rambut panjang yang terikat kebelakang. Garang. Tetapi nada bicaranya halus, medok jawa. Sementara orang yang menjadi lawan bicara mereka tampak duduk terpaku dengan mata berkaca-kaca memegang sepucuk surat yang mereka berikan sekitar lima menit sebelumnya. Sesekali wanita dihadapan mereka itu meremas-remas ujung bajunya dan menggigit bibirnya yang gemetar dengan mata masih tertuju pada nama di pojok kiri bawah. Nama yang tidak begitu asing dikepalanya. Nama yang sering dia panggil saat hendak melakukan meeting untuk mempersiapkan jadwal dan proposalnya –walaupun hanya sebagian dari nama panjang yang tertulis diatas surat itu. KARINA LARASATI. Nama tersebut tiba-tiba menjadi sebuah nama yang angker dikepala wanita tersebut. Wanita itu tampak meremas surat yang ia dapatkan. Tangannya kontan meremas kepalanya sendiri dan menangis terisak-isak tidak percaya dengan kejadian yang terjadi barusan itu.
            Iba, dan ingin menghindar untuk melihat kejadian yang menyedihkan tersebut kedua lelaki tersebut pamit undur diri sebelum berkata “Ibu diberi kesempatan satu minggu untuk mengurus semuanya”. Mereka tidak mau terlihat begitu ‘mengusir’ setelah melihat sekitar lima menit keadaan wanita yang sebelumnya pernah mereka kenal sebagai salah satu wanita yang namanya ikut dalam jajaran orang kaya di kota Metropolitan itu.
***
Perasaan campur aduk, jengkel, sakit hati, sedih, bingung pasti timbul jika terkhianati oleh orang yang begitu dekat  dan begitu  dikenal. Begitupulalah perasaan yang dialami oleh Magdalena. Kehidupan surga dengan limpahan materi dan keluarga yang penuh dengan kasih sayang (walaupun tanpa suami) telah lenyap begitu saja. Sahabat yang baru dikenalnya dua tahun terakhir dengan tega mengkhianati kepercayaannya.
            Dengan menahan rasa sesak didada Magdalena terus memasukkan 5 koper besar yang berisi pakain dan sebagian barang miliknya dan milik putrinya ke dalam Avanza berwarna silver hasil rental yang akan mengantar mereka ke Malang¸ kota yang sudah Magda persiapkan sebelumnya untuk ditinggali. Magdalena menahan bendungan air matanya agar tidak membanjir membasahi kedua pipinya. Dia tidak ingin membuat Ola putrinya terus larut di dalam kesedihan, setelah beberapa hari ini murung dan memilih untuk diam diri di dalam kamarnya.
            “Sayang, walaupun ini begitu berat tetapi kita harus tetap ke Malang. Mama sudah siapkan kontrakan baru disana. Walaupun tidak sebesar rumah ini tetapi sangat nyaman kok. Kamu jangan sedih lagi ya!” Magdalena memegang kedua pundak putrinya yang sedari tadi berdiri terpaku dan terdiam disampingnya yang sibuk mengemas koper-koper ke dalam bagasi mobil  dibantu oleh supir mobil tersebut. Ola hanya terdiam menatap mata ibunya tersebut. Sedetik kemudian air matanya menetes. Melihat putrinya menangis lagi, kontan Magdalena memeluk Ola putri yang amat dia cintainya.
            “Ola, maafkan mama…” bisiknya sembari menahan dadanya yang terasa semakin sesak. Dia berharap air mata yang sedari tadi membendung di dalam ruang matanya tidak dengan angkuhnya menetes tanpa mempertimbangkan perasaan putrinya tersebut.
            Setelah beberapa detik membisu didalam sebuah dekapan, Magdalena merasakan tulang rahang Ola terangkat dan mendengar dia berkata-kata lirih “Ma, aku masih belum bisa menerima ini. Aku masih belum bisa menerima kenyataan untuk berpisah dengan semuanya dan menerima keadaan dan orang yang baru”disusul dengan isakan pelan dari Ola .
            Magdalena semakin memeluk Ola dengan erat. Dia membiarkan tangannya bergerak membelai rambut Ola yang tergerai sepunggung dengan lembut. Sementara Ola masih dengan isak tangisnya dan tangan yang tak henti-hentinya membentuk kepalan dan mencengkeram dipunggung Magdalena. Dia tahu hal ini sungguh terasa berat untuk Ola. Sekilas dia juga merasa agak bersalah terhadap dirinya sendiri karena telah sekian tahun memberikan kasih sayang yang terlampau berlebihan sehingga tanpa ia sadari hal demikian membentuk karakter Ola yang agak manja. Tetapi hal ini semata-mata karena Ola adalah satu-satunya yang ia miliki setelah almarhum suaminya pergi meninggalkan mereka, satu-satunya alasan untuk hidup. “Kamu adalah anugrah terindah yang mama miliki…” bisik Magdalena lembut disusul oleh setetes air mata yang melaju melewati pipi Magdalena dan terhenti setelah menumbuk bahu Ola.


***
            Hampir tiga puluh menit yang lalu Avanza Silver yang membawa Ola  dan ibunya telah meninggalkan sebuah rumah elit di kawasan Menteng. Ola duduk termenung disamping jendela mobil sembari melihat gedung-gedung disebelah kirinya yang tentunya akan menjadi kenangan untuknya. Ola menarik nafas dan setengah berbisik "Kapan aku bisa balik kesini lagi?"
            Pikiran Ola kembali kedalam momen sekitar delapan belas jam yang lalu. Sepulang sekolah tepatnya seusai perpisahan dengan teman sekelasnya, seorang cowok berperawakan tinggi, berambut setengah sasak dengan jumper menutupi keatletisan tubuhnya , dan wajahnya yang oriental menunggu Ola dengan bersandar di tembok tidak jauh dari ruang  kelasnya. Dia tidak lain adalah Nathan salah satu penghuni hatinya selama dua tahun ini. Ola dengan gugup mengamatinya dari kejauhan. Mengamati siluet tubuhnya dan menjurus ke wajahnya yang tertunduk. Ola tidak yakin apa yang sedang dirasakan oleh obyek yang sedang ia amati tersebut. Hanya saja dia tampak sesekali menggigit ibu jarinya, yang Ola ketahui Nathan sedang gelisah.
Mengetahui bahwa objek yang dia amati akan segera menyadari bahwa sedang diamati, Ola segera memalingkan badan dan berjalan berlawanan dengan arah dimana Nathan berada. Nathan yang melihat kejadian tersebut berlari mengejar Ola.  Sontak Ola kaget saat Nathan meraih tangan dan menariknya dengan paksa. Sempat Ola melihat mata Nathan yang menatap tajam kepadanya seolah-olah berkata jangan menolak. Ola tak kuasa memberontak tarikan yang begitu kuat dari Nathan tersebut. Melewati  koridor sepanjang depan kelas di lantai tiga dan berbelok kekiri menaiki tangga, berbelok lagi, menaiki tangga lagi, menaiki tangga lagi sampai tangga terakhir menuju ke puncak gedung sekolah. Ola merasakan perasaan yang begitu campur aduk. Gugup, takut, sedih, dan merasa bersalah.  Dia merasa bersalah karena tidak pernah menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya dan keluarganya selama kurang lebih seminggu ini kepada Nathan dan memilih untuk menjauhinya.
            Tanpa Ola sadari mereka berdua telah sampai di rooftop gedung sekolah. Nathan melepaskan tangan Ola dan berdiri dihadapan Ola. “Sekarang jelasin…!!” Ola yang saat itu masih mengamati sekeliling yang lenggang kecuali suara pembuangan udara kotor dari AC didalam sekolah terkesiap dan memusatkan pandangannya kepada Nathan. Dia agak gugup melihat Nathan yang tampak begitu marah. Mukanya tampak merah padam dan nafasnya tersengal-sengal dengan tatapan mata tidak lepas dari mata Ola. “Sekali lagi jelasin La..” ulang Nathan dengan penekanan pada pada masing-masing kata dan kali ini setengah berteriak. Mata Ola sontak berkaca-kaca. Dia terdiam. Mulut terasa kelu tidak dapat berkata apa-apa. Dunia seperti berhenti berputar oleh kesunyian itu. Suara pembuangan udara yang mulanya terdengar begitu berirama kini seolah-olah ikut membisu. Suara nafas Nathan yang tadinya juga terdengar begitu tersengal-sengal kini tidak terdengar lagi. Yang begitu tampak hidup hanyalah mata Nathan yang menatap Ola dengan tajam mengunci keheningan itu. “Maaf…” kata Ola lirih diikuti dengan air mata yang menetes.
            Kontan Nathan menarik tubuh Ola. Dia mendaratkan bibirnya diatas bibir orang yang telah membuatnya gila itu. Menumpahkan segala perasaan yang ada di dalam hatinya. Pipi Ola semakin basah oleh air matanya yang sekarang membanjir. Cengkeraman tangan Nathan diatas bahunya itu tidak begitu terasa tertutup rasa sakit yang ada di dalam hati. Nathan melepaskan bibirnya kemudian memeluk Ola dengan begitu eratnya dan semakin erat “Nyu..jangan pergi” bisiknya terbata-bata. Ola dapat merasakan sakit yang Nathan rasakan saat itu. Dia juga merasakan sakit yang sama. Sakit harus kehilangan orang yang begitu dicintai. Orang yang telah mengisi hari-harinya selama kurang lebih dua tahun ini.
            Ola melepaskan diri dari pelukan Nathan dan meletakan kedua telapak tangannya dipipi Nathan “Aku harus pergi than..” kata Ola dengan suara agak serak.  
            Nathan melepaskan telapak tangan Ola dari pipinya dengan kedua tangannya dan menggenggam kedua tangan Ola “Kenapa kamu harus pergi? Aku kecewa nyu, kenapa aku harus mendengar cerita ini dari orang lain bukan dari kamu sendiri. Kamu kenapa nggak cerita dari awal ke aku?”
            Setelah terdiam beberapa detik, dan menyusut air mata dengan punggung jari telunjuknya Ola tersenyum getir dan membuka mulutnya “Itu bukan hal yang gampang than. Menceritakannya kepada kamu yang memandang aku di awal bukan sebagai aku yang sekarang”
            Seolah tidak rela dengan jawaban Ola yang begitu mengecewakan, Nathan membuang wajahnya kesamping seolah mengumpulkan tenaga untuk bicara “Oh begitu kah? kamu picik ternyata ya La” Nathan melepas kedua tangan Ola dari genggamanya dan memalingkan diri, menyamping dihadapan Ola dan meneruskan perkataannya “Kamu memandang aku segitu buruknya kah? Selama dua tahun kita jalan, seperti itukah anggepanmu?”
            “Aku akui aku picik Than. Tapi itulah manusia. Nggak ada manusia yang nggak punya motif dalam melakukan segala sesuatu.” Kata Ola getir.
            “Aku nggak habis pikir La..” kata Nathan tanpa mau memandang Ola sedikitpun. Kali ini dia tampak menerawang keatas memandang langit biru siang itu.
            Ola menarik nafas dalam-dalam “Ok fine. Untuk kebaikan kamu dan kebaikanku…” dengan terbata-bata dan berat hati “kita..hmmm se-baik-nya u-da-han aja”.
Otot-otot bola mata Nathan terasa tertarik kedalam. “What?! “ Nathan menatap wajah Ola yang tertunduk dan memegang bahunya dan mencengkeramnya “ Kamu gila La? Segampang itukah kamu..?”
Sambil tertunduk dan gemetar Ola mencoba berkata-kata lagi “A-k-u  b-e-s-o-k  b-e-r-a-n-g-k-a-t-  k-e  M-a-l-a-n-g”
Nathan melepaskan tangannya dari Pundak Ola. Dia tampak resah. Berkali-kali dia tampak menggigit-gigit ujung jempolnya memikirkan sesuatu, berusaha menjernihkan pikiran.
            Mobil yang membawa Ola tiba-tiba berhenti mendadak saat pak sopir menginjak pedal rem mobil. Ola terbangun dari lamunanya. Dia mengambil tisu didalam tas punggung kecil diatas pangkuannya sesaat setelah menyadari bahwa pipinya telah basah oleh airmatanya. Ola melirik ibunya yang tertidur disampingnya. Sontak dia merasakan betapa berat beban yang harus ibunya tanggung. Dia memperhatikan wajah ibunya dengan perasaan yang begitu sedih. “Maafkan Ola ma…Ola akan berusaha” ucap Ola lirih. Dia meraih tangan ibunya tersebut dan menggenggam tangannya dan meletakkan diatas pangkuannya.
***
            Ola dan ibunya tertidur didalam mobil. Perjalan ke Malang ternyata tidak sesingkat yang Ola bayangkan sebelumnya. Harus menempuh sekitar 17 jam untuk menginjakkan diri di Kota Kembang itu dari Jakarta dengan mobil. Ngukkk..ngukkk..ngukkk..ngukk..ngukk..ngukk..
Dengan mata masih berat untuk membuka, tangan Ola meraba ponsel di dalam sakunya jeansnya. Seolah-olah tangan Ola memiliki mata di jarinya, Ola memencet tombol received diatas ponselnya.
“Halo..” jawab Ola dengan sedikit malas.
“Ola..udah nyampek mana?” tampak suara teriakan histeris dari seberang telephon.
Dengan mata masih tertutup Ola memperbaiki Jok kursi mobil yag mulanya dia miringkan untuk posisi tidur. “Gaby..!! Heboh banget sih?”
“Gimana nggak heboh La? Gue mesti pisah dengan sahabat terbaik Gue. Eh..Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Udah nyampek mana?”
Ola melongok keluar dan mengamati sekitar. Mencari-cari papan nama mana tahu dia mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan dia saat itu. Karena tidak ada jawaban juga Ola mencondongkan badan kedepan kearah supir.”Pak, ini daerah mana ya?” Dengan tidak lepas dari konsentrasi mengemudinya supir itu membuka mulutnya “Solo neng,”
“O…Solo. Makasi Pak ya..”seru Ola sembari kembali ke posisi semula.
Diseberang. Karena tidak mendapatkan jawaban dari penerima telephonnya akhirnya Gaby terdengar protes “Ehem..cek..cek…Tes..tes..apakah Ola masih ditempat?”
“Iya..iya..bawel. Kan gue mesti mengamati sekitar. Buat tau ini daerah mana dulu Gaby. Huh…” gerutu Ola.
“Mengamatinya lama bener. Sampek gue disini berlumut tau. Hahahaha…Udah nyampek mana Ola sayang?” kata Gaby dengan penekanan di kata sayang.
“Nggak sabaran banget sih. Ini nih..udah nyampek Solo Gaby sayang” kata Ola dengan penekanan di kata sayang pula.
“Syukurlah. Hati-hati ya La. O ya, tante Magda lagi ngapain La?”
“Ketiduran Gab, gue rasa nyokap gue bener-bener capek. Gue nggak pengen ganggu tidurnya, makanya dari tadi suaraku agak pelan.”
“Maafin gue ya La, nggak bisa bantu lo apa-apa. Tadi pas lo berangkat juga nggak bisa bantuin kemas-kemas. Lo tau sendiri kan Pak Budi gimana kalau nggak ikut ulangannya..”kata Gaby dari seberang yang terdengar begitu menyesal.
“Iya nggakpapa Gab. Lo udah sempetin telephon aja Gue udah seneng banget”.
“Hmm..Oya..Nathan udah hubungin lo?” terdengar suara yang begitu hati-hati dari seberang.
“Belum..”jawab Ola lirih.
“Hmmm..sorry sorry La. Gue nggak bermaksud..Gu cumin pengen..” sahut Gaby dengan cepat dan penuh rasa penyesalan.
“Nggak papa Gab” potong Ola lirih sembari meraba sebuah mockup sepatu kecil didalam tasnya. Mengambilnya dan menggenggamnya kemudian mendekapnya diatas dadanya. “Gue udah mencoba mulai terbiasa dengan ketidakbersamaan gue dan dia Gab.”
“Gue doa’in yang terbaik buat lo La. Oya..liburan semester depan gue maen ke Malang deh buat njenguk Lo dan tante Magda”
“Thanks ya Gab” kata Ola kembali dengan mata berkaca-kaca lagi.
“Ok deh..I think u must go to sleep and enjoy ur journey” kata Gaby menyudahi pembicaraan mereka.
“Thanks Gab, I’m sure that u’re really my best friend.”

***
Didalam kamar berukuran cukup luas yang penuh dengan poster the beatles dan beberapa gambar artis barat wanita disatu sisi dinding dan foto-foto bersama Ola di atas rak kaset disisi tembok yang lain tersebut, Nathan tampak gelisah. Sesekali dia memandang photo Ola yang jadi wallpaper di ponselnya kemudian beringsut dibawah bantal. Bangun dan kemudian mondar-mandir nggak jelas dengan posel ditangan. Kemudian menjatuhkan diri diatas bed nya lagi.
Kamar yang biasanya full dengan music the beatles tersebut kini sunyi dan sepi, yang terdengar hanya suara processor laptop yang masih menyala dan tergeletak dilantai beralaskan karpet bulu disisi depan bed, Nathan biasa mengerjakan tugas-tugasnya dan beberapa kali ditemani Ola disitu.
Nathan ingat betul beberapa waktu yang lalu saat hubungannya dengan Ola masih baik-baik saja. Ola dengan serius menemaninya  mengerjakan tugas lomba photography untuk sebuah majalah sampai larut malam diatas karpet tersebut. Dari menjadi model amatiran sampai sekedar membantu menemani, memberi ide dan saran.
Bayangan Ola seolah-olah nyata didepan Nathan, serius dan tampak sesekali memainkan jari tengah dan telunjuknya diatas dahinya –berirama seolah-olah sedang berpikir-- saat melihat Nathan yang sibuk mengatur contras maupun level untuk mengatur kualitas pewarnaan gambar. Kemudian jari telunjuk Ola menunjuk ke dalam layar Laptop didepan Nathan seperti memberi petunjuk dan saran.  Nathan dapat merasakan kebahagiaan pada momen tersebut. Damai, bahagia, serius, tegang. Perasaan itu masih sangat kentara.
Nathan masih terhanyut dalam lamunan tentang Ola. Sedang apakah dia? Baik-baik sajakah? Apakah dia mikirin gue? Nathan agak menyesal karena keegoisannya untuk tidak menghubungi Ola, and then dia tidak dapat menghabiskan waktu dengan Ola didetik-detik terakhir kepergian Ola ke Malang. Hingga akhirnya dia telah pergi. Ola dan Ola berkecamuk dalam hati dan pikiran Nathan.
Sampai pada akhirnya pintu kamar Nathan berderit dan sesosok wanita separuh baya yang tinggi dengan panjang rambut ikal sebahu memasuki kamarnya.
“Than, ayo makan!!”kata wanita itu yang tidak lain adalah ibunya.
Natan semakin membenamkan kepalanya dibawah bantal bersarungkan logo tim sepakbola kesukaannya. Wanita itu mengerti dengan keadaan yang sedang di alami putranya tersebut. Kemudian dia duduk di pinggir bed dan memegang kaki putranya dan menggoyang-goyangkannya.”Hey, mama tahu perasaanmu. Turuti apa kata hatimu. Itu yang terbaik sayang” kata Wanita tersebut kemudian berdiri dan beranjak keluar kamar.”Kalau kamu lapar, makan malamnya sebagian mama taruh di microwave biar tetep panas”.
Didalam hati Nathan mencerna kata-kata ibunya tentang “Kamu turuti kata hatimu. Itu yang terbaik”. Nathan memegang ponselnya dan mencoba mengetikan pesan untuk Ola, membacanya ulang menghapusnya, mengetik ulang, membaca ulang, mengedit dan sampai pada akhirnya, message sent!
To: Unyu
Maaf sebelumnya, karena aku tidak bisa memposisikan diri jika jadi kamu.
Nyu, apa kabar?

           Tak beberapa lama setelah menunggu dengan gugup ada sebuah pesan yang masuk.
From: Unyu
I’m waiting a message from u Than. So sorry about my egoism too.
Aku baik Than, kamu?

To: Unyu
Seneng dengernya…:)
Kamu harusnya tahu kabarku gimana?
Kali ini Nathan menunggu cukup lama untuk menerima pesan ini.
From: Unyu
Please, Than. Jangan memulai membuat perjalanan hidup kita kacau balau lagi. Kamu harus move on. Aku juga…
Ada Stefy who is ready to accompany u to grow up.
Thanks udah pernah jadi bagian hidupku..
            Pesan yang ditunggu cukup lama ini sontak membuat Nathan geram dan kebingungan. Ola memulainya lagi. Apakah dia tidak tahu perasaanku?
To:Unyu
Maksud kamu tentang Stefy? Move on? Perjalanan hidup kacau balau apa?
Aku nggak ngerti La..
            Nathan memandang ponsel yang ada ditangannya dan dengan gugup menanti jawaban pesan yang dikirimkan Ola dari seberang. One message received. Dengan gugup Nathan membuka pesan itu dan membacanya pelan-pelan.
From: Unyu
Stefy punya kemampuan dan power untuk membuat kamu berkembang Than. Kamu tahu sendiri kan, Stefy mempunyai passion di Photo modeling sementara kamu, passionmu adalah Model Photography. Dia juga lumayan dekat dengan kamu akhir-akhir ini kan. Dia akan membantu perkembangan cita-citamu. Tinggal sedikit lagi Than.
Aku juga harus tetap bertahan hidup dan mengejar cita-citaku yang aku juga belum mengetahuinya. Aku nggak bisa terus begini Than.
            Kepala Nathan mulai panas membaca pesan dari Ola tersebut. Dengan sedikit menahan emosi Nathan membalas pesan dari Ola lagi.
To: Unyu
Lumayan dekat denganku akhir2 ini? Kamu ingin aku bersama dengan Stefy sementara perasaan ini masih untuk kamu? There’s no something special atara aku dan stefy La. Kamu apa2an sih?
From:Unyu
Aku wanita Than. Aku tahu gimana orang sekedar berteman atau suka. Stefy menyukaimu. Jelaslah, kamu seorang Nathan. Siapa sih yang nggak suka?
Kita sendiri-sendiri aja ya Than.
            Hati Nathan seperti terhujam oleh sebuah belati yang sangat tajam. Sakit. Dia tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkan oleh seorang Ola yang begitu ia kenal. Tetapi sekarang terasa sangat jauh.
To: Unyu
Sebegitu nggak berharganyakah perjalanan kita selama dua tahun ini sehingga kamu bersikeras dan berkemauan  seperti itu La?
Aku masih dengan jawaban yang sama La. TERIMAKASIH.
From:Unyu
Bukan yang aku mau Than, tetapi keadaan yang mau. Ini yang terbaik untuk kita.

            Pembicaraan via message di ponsel berakhir disitu. Nathan tidak sanggup untuk meneruskan membalas pesan dari Ola yang sungguh menyakitkan tersebut. Nathan merasa sangat patah hati. Dia terduduk dan tertunduk didepan Bednya. Ponsel yang sedari tadi dipegangnya diremas. Tangannya bergerak menekan keypad ponselnya dan masuk kedalam File manager mencari sebuah lagu dan memutarnya. You took my heart away dari MLTR.
Staring at the moon so blue
Turning all my thoughts to you
I was without hopes or dreams
I tried to dull an inner scream but you
saw me through

Walking on a path of air
See your faces everywhere
As you melt this heart of stone
you take my hand to guide me home and now
I'm in love

You took my heart away
when my whole world was gray
You gave me everything
and a little bit more
And when it's cold at night
and you sleep by my side
you become the meaning of my life

Living in a world so cold
you are there to warm my soul
You came to mend a broken heart
You gave my life a brand new start and now
I'm in love

Holding your hand
I won't fear tomorrow
Here were we stand
we'll never be alone

            Ola pernah memutarkan lagu ini dari ponselnya saat mereka baru jadian. Kata-katanya sungguh manis dan menyentuh sehingga Nathan berniat untuk mem-bluthooth lagu tersebut dari ponsel Ola. Dan lagu tersebut menjadi lagu mereka berdua.
             Didalam hati Nathan sempat mencibir dirinya sendiri yang pernah mentertawakan reaksi Reno sahabatnya saat patah hati dulu. “Lebay banget lo Ren” kata-kata yang sempat dia lontarkan ke sahabatnya itu dulu. Sekarang dia baru merasakan bagaimana sakitnya, setelah sekian kali dia yang membuat beberapa cewek patah hati dengan sikapnya yang bisa dibilang playboy.
            Di tahun kedua sekolahnya semuanya itu kontan berubah setelah kedatangan seorang Maurola zivanya. Ola. Nathan menemukan something different di dalam diri Ola. Seorang cewek yang tampil apa adanya dibalik kekayaan yang dia miliki. Seorang cewek yang tidak memasang tampang manis saat berada dihadapannya. Seorang cewek yang begitu cuek dengan perkataan-perkataan manisnya. 2 tahun itu merupakan perjalanan cinta Nathan yang terlama. Tapi kini kandas dengan alasan yang tidak bisa Nathan terima.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar