=====================WELCOME TO IAN ITU CEMPLOON====================

Rabu, 16 Januari 2013

SEPATU KACA

2.
BERUBAH


            Sekitar pukul duabelas malam mobil Avanza silver yang membawa Ola dan ibunya berjalan melambat saat melewati kawasan pegunungan yang gelap dan sepi. Jalanan dapat dilihat hanya melalui cahaya lampu mobil dan cahaya bulan yang malam itu tampak bulat bersinar. Ola melihat sekeliling. Tebing-tebing di kanan jalan dan jurang dikiri jalan. Dia sempat melihat kerlap-kerlip lampu kota disebelah kiri saat mobil melewati jalan dimana tidak ada pohon yang menutup jurang sekaligus pemandangan indah itu.
            Ola hendak bertanya mengenai nama kawasan tersebut kepada ibunya yang duduk disampingnya. Tetapi niatnya urung ketika melihat ibunya sedang menerima telephon dari seberang dan tampak begitu serius. Lagi-lagi Ola mencondongkan badan kedepan dan bertanya kepada sopir “Pak sekarang kita sudah sampai mana ya?”
            Dari samping belakang, pak sopir tersebut tampak tersenyum. Berbeda dengan air mukanya yang serius tanpa senyum saat ditanya sebelumnya “Sampai di kawasan batu neng”. Ola agak aneh sih dengan perubahan ekspresi sopir yang membawanya sedari tadi itu. Dengan agak ragu dia bertanya kepada sopir itu “Pak…saya melihat bapak tersenyum barusan. Ada apa?” Merasa pertanyaanya kurang pas, Ola menambahkan lagi “Maksud saya, tadi bapak begitu serius tanpa tersenyum sedikitpun saat saya tanya sebelumnya”.
            Ola mengernyitkan keningnya dan memicingkan bibirnya, menunggu jawaban dari pak sopir. Agak gugup dan takut menyinggung Sopir itu.
            Sopir itu tampak tersenyum lagi “Hmm..kita sudah sampai kawasan Batu neng. Sekitar 45 menit lagi kita sudah sampai di lokasi. Jadi saya bisa langsung ketemu keluarga saya setelah itu”.
            Dengan perasaan lega mendengar jawaban dari Sopir tersebut Ola kontan tertawa. “O..Keluarga Bapak di Malang?”
            “Iya neng, anak istri saya di Malang. Kebetulan saya dapat kerjaan jadi sopir di rental mobil ini.”
            “Trus, Bapak balik ke Malang setiap?” Tanya Ola lagi.
            “Nggak tentu neng. Kadang ya sebulan sekali. Kadang 2 bulan. Pernah saya setahun baru pulang neng.”
            “Bapak pasti rindu dengan keluarga ya. Terakhir pulang kapan pak?”
            Terdengar suara dewasa berceletuk dari belakang “Ola, jangan ganggu pak Jono saat mengemudi”. Kemudian terdengar pula suara sahutan dari depan “Nggak papa bu Magda. Saya malah senang ada yang menemani saya ngobrol.”
            Ola melirik ibunya dan tersenyum “Tu kan, ma..”
Sepuluh menit berlalu, Ola melihat bilik-bilik bambu berjejer disebelah kiri jalan. Ramai sekali. Hanya daerah itu saja yang tampak terang dengan cahaya lampu. Tampak  sepasang pemuda pemudi duduk didalam salah satu sekat bilik. Berangkulan. Ada yang bermesra-mesraan. Ada pula segerombol pemuda pemudi yang asyik bercerita. Minum kopi, makan, membakar jagung. Terdorong oleh perasaan ingin tahu Ola bertanya kepada pak Jono lagi "Kalau ini, daerahnya bernama apa pak? ramai sekali".
"Ini namanya payung neng. Terkenal untuk pacaran" desertai dengan tawa pak Jony. Pacaran…Pikiran Ola melayang dan bayangan Nathan datang mengacaukan suasana hatinya. Ola memejamkan mata dan menggeleng-nggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan bayangan Nathan di kepalanya.

***
Suara dering ponsel Magdalena dari dalam tas tangan yang berada diatas pangkuanya sontak membangunkan dia dan putrinya yang tertidur selama beberapa jam terakhir. Magdalena meraba-raba kedalam tas dan mencari ponselnya yang hampir semenit yang lalu telah meraung-raung menunggu untuk di diangkat.
“Halo..” Magdalena melirik putrinya yang sedang melongok keluar jendela setelah terbangun dan melihat pemandangan malam yang gelap selain kilauan cahaya dari kejauhan.
“Kami sudah sampai di Batu” katanya setengah berbisik sambil melirik kearah putrinya lagi yang sedang asyik dengan pemandangan kelam itu.
“Syukurlah. Saya menunggumu” suara dari seberang.
“Terimakasih..” kata Magdalena sembari tersenyum
“Saya akan datang kerumah besok”
“Jangan. Saya yang akan datang menemuimu. Saya akan menghubungimu sebelumnya”

***
Setelah membantu menurunkan dan  mengangkut semua koper yang berisi barang-barang ke teras, pak Jono langsung pamit pulang. “Mari Bu Magda, saya pumit dulu”.
Kemudian Magdalena masuk kedalam gerbang rumah barunya tersebut, terbuat dari susunan besi bulat yang tampak sudah rapuh berkarat di beberapa bagian luarnya. Dia melihat putrinya yang tampak berdiri mengintip kedalam dari jendela kaca depan rumah itu. Sambil tersenyum Magdalena menepuk bahu putrinya. "Gimana sayang?"
Ola yang sedari tadi sibuk melihat-lihat isi dalam rumah lewat jendela tersebut sontak kaget layaknya seorang pencuri yang tengah mengamati lokasi lewat jendela, eh..tiba-tiba pemilik mengacungkan belati dari belakang. “Mama, ngagetin aja!!” gerutu Ola.
Magdalena tersenyum lagi kemudian memeluk Ola. “Maafin mama ya nak, mama cuma bisa mengusahakan ini”. Ciuman mendarat di pipi Magdalena. “Ola akan berusaha ma. Ayo masuk!! Udah nggak sabar nih”. Ola menarik Magdalena menuju ke depan pintu dan mendorong ibunya untuk segera membukakan pintu. Sementara Magdalena sibuk membuka pintu, Ola sempet menitikan air mata. Dengan secepat kilat dia menyusut air mata itu dengan punggung jari telunjuknya.
***
Mata Ola agak silau dengan cahaya yang masuk kekamarnya lewat jendela yang hanya ditutupi korden transparan berwarna putih disamping kanannya. Menyadari ketidaknyamanan tersebut Ola membuka mata dan melihat sekeliling. Diatas kasurnya Ola terlentang menatap langit-langit yang tidak begitu jauh untuk dijangkau itu. Dia menoleh kekiri, 2 koper berwarna hitam dan ungu masih berdiri dipojok dekat pintu kamarnya. Disebelahnya agak tengah ada sebuah almari dua pintu yang tingginya kira-kira sedagu. Sepertinya masih kosong. Disebelah kiri bed ada sebuah meja kecil yang berdempet. Ola menoleh ke sebelah kanan. Hanya ada jendela yang berjajar memenuhi dinding sebelah kanan dan sebuah meja rias berdempet dengan bed. Kemudian mata ola melihat didepan kasurnya, ada sebuah lemari dengan banyak pintu dan kaca di dua pintu besarnya. Markas baru, pikir Ola. “Let’s make this room be a comfortable room yang Gue banget. Dan lupakan yang lalu. Semangat!! Gue pasti bisa!!” seru Ola walaupun sedikit pahit di mulut untuk mengucapkannya. Ola beranjak bangun dan membuka koper berwarna ungu yang berisi pakaian-pakaiannya. Dia membuka kedua lemari yang ada didalam kamar barunya tersebut. Memikirkan bagaimana cara menata barang-barangnya. Krucuk…niat dan semangat Ola menyulap kamar barunya tersebut tertunda oleh suara portes dari perutnya.
Ola keluar dari kamar dan menuju ke meja makan yang terletak satu ruangan dengan ruang tamu yang hanya berbataskan sebuah akuariun flat selebar 2 meter yang diapit dua pot bunga yang cukup besar. “Ma..!!” panggil Ola sembari mengetuk kamar ibunya yang terletak persis disebelah kamarnya karena dia tidak  menemukan ibunya diruangan tersebut. Karena tidak ada jawaban, Ola kembali ke Meja makan. Dia membuka tudung saji diatas meja. Disana terdapat sepiring nasi goreng dengan satu telur mata sapi diatasnya. Selain itu juga terdapat segelas susu hangat disampingnya. Mata Ola tertumbuk pada benda asing dibawah gelas susu tersebut. Sebuah kertas. Ola membukanya dan membaca tulisan yang ada didalamnya.
Nak, mama ada keperluan sebentar. Sekitar pukul 09.00 WIB mama sudah pulang kok. Nanti mama langsung antar Ola lihat-liha ke sekolah Ola yang baru. Jadi Ola siap-siap yah! Sekarang Ola sarapan dulu. Selamat makan…

Mama
            Ola melirik jam yang ada dipergelangan tangannya sebelah kiri. “Udah jam Delapan . Nggak sempet nata-in kamar donk gue”. Seolah masa bodoh, Ola langsung menyantap nasi goreng buatan ibunya itu.
***
            Magdalena tampak duduk kikuk didepan seorang pria yang duduk bersebrangan denganya itu. Secangkir kopi dan secangkir coklat panas diatas meja seolah  menjadi saksi bisu kekikukan mereka. Sebuah lagu dari Sierra Especially for You tampak mengalun menemani keheningan mereka berdua. "Operator musik di caffe ini sungguh tidak bersahabat. Kenapa diputar lagu seromantis ini?" geram Magdalena dalam hati. Jantung Magdalena berdebar-debar dengan kondisi kikuk seperti itu. Perasaan senang, rindu, kikuk bercampur didalam dadanya. Menutupi rasa gugup, Magdalena menyentuh gagang cangkir yang berisi coklat panas dihadapannya itu, mengangkatnya dan menyeruput coklat yang ada didalamnya.
            "Saya senang…”kata pria itu mengambang.
            Magdalena kontan menatap pria itu, menunduk dan tersenyum didalam hati. “Saya juga senang mas…” kata Magdalena juga agak mengambang. Dia meletakkan cangkir coklat panas keatas saucer dan menyilangkan kedua telapak tangannya diatas meja.
            “Sudah lama sekali rasanya kita nggak ketemu..” kata pria tersebut sambil menyeruput secangkir kopinya. “Aku rindu..”kata pria itu lirih.
            Sontak Jantung Magdalena berhenti berdetak, seolah-olah kalimat dari mulut pria dihadapannya itu mengunci seluruh nafas dan detak jantungnya. Ada sedikit perasaan senang didalam hati Magdalena. Sudah lama sekali tidak ada seorang pria yang mengucapkan kata-kata yang membuatnya agak melayang seperti tadi.
            Pria itu menyentuh punggung telapak tangan Magdalena dan menatap sayang ke wajah Magdalena yang masih tertunduk. “Aku masih sama seperti dulu dek..” Keheningan terjadi lagi. Mulut Magdalena kelu, tidak kuasa untuk berkata-kata. Dia masih menunduk. Bayangan Ola tiba-tiba melintas di dalam pikirannya sehingga memberi kekuatan untuk mengangkat wajahnya dan membuka mulutnya “Saya sangat mencintai Ola mas..”
            Pria itu tampak mengernyitkan kening. Kini kedua tangannya menggenggam semua jari Magdalena dan menatap wajah Magdalena. Agak mencondongkan wajah kedepan. “Trus masalahnya apa dek?”
            “Mas harusnya tahu..”sahut Magdalena lirih.
            “Okke..maafin saya dek!” kata pria itu setelah beberapa detik mencerna kata-kata Magdalena. “Kapan-kapan saya akan maen ke rumah..” tambah pria itu
            “Tapi mas..” sahut Magdalena dengan secepat kilat.
            Pria itu tersenyum sembari menggerak-gerakkan kedua ibu jarinya diatas punggung jari Magdalena. “Saya akan mengajak Josua, jadi jangan kuatir.”

***
           

Sebuah taksi berhenti didepan sebuah rumah mungil beraksitektur zaman Belanda dikawasan jalan Anyer tersebut. Ola keluar dari dalam rumah dan melongok mencari tahu siapa yang datang itu. Seorang perempuan separuh baya memakai terusan sifon polos berwarna krem dan wedges yang tidak terlalu tinggi keluar dari dalam taksi tersebut.
“Mama!!” Serbu Ola kehadapan wanita itu. “Darimana aja?”
Wanita itu mengangkat beberapa kantong plastik berisi buah, sayur, dan barang-barang lain, menunjukkan kepada Ola. “Mama habis belanja sayang” kata wanita itu sembari memberika sebagian belanjaannya kepada Ola  untuk dibawa masuk kedalam. “Langsung dimasukin ke kulkas ya La!!” pintanya.
Dengan setengah merengut manja Ola membawa buah dan sayur-sayuran yang berada didalam kantong plastic yang dibawanya dan kemudian mengaturnya didalam kulkas. Sementara ibunya mengatur barang-barang yang lain di lemari dapur.
“La, udah mandi kan? Habis ini langsung berangkat kesekolah ya!! Soalnya agak sorean mama ada urusan” kata wanita itu sembari mengatur barang-barang yang dibelinya tadi di lemari dapur.
“Udah donk ma. Masa udah cantik gini dibilang belum mandi?” kata Ola juga tengah sibuk mengatur buah dan sayur-sayuran. “Oya urusan apa sih ma?” Tanya Ola pengen tahu.
“Mau ketemu tante Amanda yang pernah nginep dirumah itu loh sayang. Mama ada bisnis bareng tante Amanda”
“Bisnis apa ma?”sahut Ola
“Bisnis pakaian, tapi bentuknya seperti apa mama belum tahu. Makanya nanti mau ketemu”
***
            Paduan seragam rok kotak-kotak dan atasan kemeja putih dengan dasi kotak-kotak menempel setelah membelit dikerah tampak begitu manis di badan Ola. Ola melihat sekeliling sekolah barunya tersebut. Hanya ada satu gedung berlantai 4 yang cukup luas dan sebuah bagunan kotak yang cukup kecil bergambarkan grafity ditemboknya disebelah kanan gedung. Tepatnya disebelah lapangan basket. Disebelah bangunan kecil tersebut terdapat sebuah bangunan terbuka yang diatasnya bertuliskan KANTIN. Ditempat itu tampak ramai oleh siswa-siswi sekolah tersebut  yang berseragamkan putih abu-abu dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bergerombol didua meja yang didempet jadi satu dengan mangkuk-mangkuk bakso kosong diatas meja. Ada yang hanya duduk berdua bersebrangan disamping kanan kiri meja. Dan banyak yang lain dengan kegiatan masing-masing.  Ola melongok jam ditangannya. 09.45 WIB. “Pantes. Lagi istirahat. Makanya rame..” celetuknya.
            “Ola..ayo!!” Panggil ibunya yang telah sampai di bibir koridor sekolah. Sementara dia masih berdiri dilapangan mengamati sekitar.
            Ola berlari menuju kearah ibunya. Dan kemudian mengikuti ibunya dibelakang. Agak nggak nyaman sih, saat Ola merasa menjadi sebuah tontonan disepanjang koridor yang ramai oleh beberapa siswa-siswi yang duduk maupun berdiri disepanjang koridor. Ola mengamati wajah mereka yang tampak sedang mengamati Ola juga. Ola menambah kecepatan langkahnya dan mensejajarkan diri disebelah ibunya. “Ma..ada yang aneh dengan Ola? Kok mereka ngeliatinya kayak gitu? Atau karena seragam Ola yang beda ya? Mama sih, udah dibilangin Pake pakaian bebas aja. Ngotot nyuruh Ola pake seragam ini” cerocos Ola pada ibunya setelah melewati koridor yang agak sepi.
            Sambil tersenyum ibunya menoleh dan menatap wajah Ola sambil berkata dan setengah menggoda “Itu, Karena Ola cantik”. Kontan saat itu wajah Ola memerah “Ah, mama”.
***
            Diujung koridor mereka berbelok kekanan dan memasuki lorong. Di percabangan lorong tersebut terdapat  plang petunjuk yang tergantung diatas tepat dibawah langit-langit. Ruang Guru, Ruang kepala sekolah, Ruang Tata Usaha berada pada sebuah plang yang disampingnya terdapat panah yang mengarah kesebelah kiri. Maka kedua ibu dan anak tersebut berbelok kearah kiri. Di pojok lorong tersebut terdapat tempat seperti loket di bank-bank. Magdalena menarik tangan putrinya menuju ke loket tersebut. “Permisi mbak, saya mau bertemu dengan Pak Liyono kepala sekolah disini” kata Magdalena setelah sampai didepan loket kepada perempuan diseberang loket. “Mohon maaf ada keperluan apa ibu?”Tanya perempuan itu.
            “Saya telah mendaftarkan anak saya disekolah ini. Tetapi semuanya sudah beres kok mbak. Keperluan saya selain mengambil seragam dan lain sebagainya saya ingin ketemu dengan Pak Liyono, ada hal yang perlu saya bicarakan dengan beliau” jawab Magdalena dengan nada bicara yang tegas.
            “Boleh saya tahu nama ibu?” Tanya perempuan itu lagi. Kali ini sembari memencet tombol yang menyembul di sebelah gagang telephon diatas mejanya.
            “Magdalena Rosalia” kata Magdalena mantap.
            Perempuan itu tampak berbicara dengan orang diseberang. Dia sesekali manggut-manggut. Nada bicaranya terdengar sangat sopan. Sementara Magdalena berbalik memperhatikan Ola yang duduk agak jauh dari depan loket tersebut. Ola tampak sibuk menggerak-gerakkan jempol diatas keypad ponsel yang ada ditangannya tanpa menyadari bahwa sedang diperhatikan oleh ibunya dari depan loket. Magdalena hanya tersenyum memperhatikan putrinya tersebut. “Ola semangat ya!!” katanya dalam hati.
            “Permisi ibu Magdalena. Pak Liyono sudah menunggu diruangannya. Beliau meminta ibu untuk langsung keruangannya saja” kata perempuan petugas administrasi tersebut setelah selesai dengan telephonnya.
            “Oh..iya. Terimakasih mbak” kata Magdalena sambil melempar senyum kepada perempuan tersebut. Magdalena langsung menghampiri putrinya. “Ayo nak!”
            Satu menit berlalu. Pintu sebuah ruang yang tidak jauh dari loket sebelumnya terbuka setelah Magdalena mengentuknya. Seorang pria separuh baya dengan bentuk badan yang lumayan tambun dengan jambang di atas bibirnya tampak menyeringai memnyambut kedatangan Ola dan Magdalena.
            “Halo Magdalena” Kata pria tersebut sembari menyalami Magdalena. Ola yang berada dibelakang ibunya tampak merasa aneh dengan pemandangan didepannya kali  itu. Dia lantas tertunduk saat mata pria tersebut  tertuju padanya. “Ini Ola?” Tanya pria itu menunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Ola dan tersenyum sembari menyalami Ola.
            “Iya Yon” sahut Magdalena dari belakang Ola dan pria tersebut.
            “Sudah besar ya. Saya dulu sering menggendong kamu lho waktu kamu masih kecil” kata pria itu sembari mengacak-acak rambut Ola. Ola tersenyum heran kepada pria yang seperti sok akrab tersebut. Melihat wajah Ola yang Nampak bingung, pria tersebut menambahkan “Saya teman mama dan almarhumah papa kamu. Dulu keluarga saya dan keluarga kamu sering berlibur bersama.”
            “Oya..ayo ayo silahkan duduk!!” kata pria tersebut.
            Pembicaraan Magdalena dan pria yang merupakan kawan lamanya itu berlangsung cukup lama. Panjang lebar. Mulai dari masa-masa kuliah mereka, masa-masa setelah berkeluarga, sampai cerita mengenai kehidupan keluarga mereka masing-masing selama tahun-tahun terakhir. Bernostalgia. Ola sesekali ikut tertawa garing karena tidak bisa menyatu kedalam pembicaraan tersebut. Dia tampak mengalihkan kejenuhannya dengan mengotak-atik ponselnya.
            “Oya Yon. Saya titip Ola ya!!” kata Magdalena pada pria itu di menit-menit terakhir.
            “Iya. Jangan khawatir!! Ola sudah seperti anak saya sendiri.” Kata pria itu sembari menepuk bahu Ola yang duduk tidak jauh darinya.
Kemudian pria itu mengalihkan pandangan ke wajah Ola. Tangannya memegang lembut bahu Ola.“Ola, nanti saya kenalkan kamu ke putra saya. Dia kelas sebelas juga seperti kamu. Mungkin dia bisa jadi teman kamu”  kata pria tersebut dengan wajah yang terlihat begitu sayang terhadap Ola.
***

            Sepi. Orang yang lalu lalang didepan Nathan serasa hanya sebagai bayangan semu dimatanya. Teriakan beberapa siswa yang jika didengar as normarly akan membangkitkan emosi karena benar-benar bisa memecahkan gendang telinga, tidak memberikan pengaruh yang berarti untuknya. Di bawah pohon beringin ditengah sekolah itu Nathan tampak duduk merenung. Jiwanya seperti sedang melayang-layang seperti bosan terus-terusan berdiam diri didalam raga itu.
            “Nyu, kamu ngapain?" katanya lirih masih dengan pandangan yang kosong. Pikirannya melayang-layang, berputar-putar sampai tertumbuk pada kejadian beberapa waktu sebelumnya....
            “Nyu senyum!!” Pinta Nathan sembari menekan tombol shoot pada kamera DSLR yang dipegangnya. Sementara objek yang dibidik dengan bibir memerucut mengacungkan dua jari membentuk tanda peace didekat wajahnya. “Gayanya ganti ah..” katan Nathan lagi.
            “Nathan, jangan ganggu orang lagi baca deh!!” teriak Ola lalu melanjutkan membaca buku yang dipegangnya sedari tadi sebelum di pause oleh action photo tadi. Ola kini tidak menghiraukan Nathan yang sibuk memotret dirinya. Dari kanan, kiri, depan.
            “Ah, kamu nggak seru!!” Gerutu Natan sembari meletakkan kepalanya diatas pangkuan Ola setelah tidak ada reaksi perubahan dari Ola.
            “Biarin” sahut Ola tanpa mengalihkan perhatian dari buku yang dibacanya. Nathan memperhatikan wajah Ola dari bawah, sedikit tertutup buku yang sedang dibaca Ola sih. Tetapi cukup puas dengan hasil yang dapat dilihatnya. Memperhatikan keseriusan Ola akan buku itu seakan membuat Nathan geli sehingga sesekali dia tersenyum. Nathan merasakan kedamaian yang begitu besar saat itu. Kebahagiaan yang begitu besar. Matanya terpenjam merasakan dan meresapi kedamaian dan kebahagiaan itu. I’m sure that I’m truly in love.
            man lo ngapain ngelamun disitu sendirian?” terdengar suara dari samping yang membuyarkan lamunan Nathan. Dia menoleh dan menemukan sosok Reno sahabatnya yang berjalan kearahnya. Nathan kembali menoleh keposisi semula dan tidak menghiraukan Reno yang sudah disampingnya sekarang.
            “Hey, gue tanya lo ngapain disini sendirian?” tanya Reno lagi, protes karena tidak ada jawaban dari orang yang diajaknya bicara. Dengan wajah polos seolah-olah tidak tahu menahu Reno memperhatikan Nathan yang masih mebuang pandangan kosong. Padahal dia sudah tahu betul mengenai keadaan yang dialami sahabatnya itu jauh sebelum teman-teman yang lain mengetahuinya. Sehingga dengan membuang jauh-jauh harga dirinya, dia mendekati Gaby sahabat dekat Ola untuk mengorek informasi Ola darinya untuk Nathan yang dia yakin tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan.
            Dengan wajah datar, tetapi cenderung kearah kelabu Nathan membuka mulutnya “Menurut lo gue ngapain?”
            “Lah, ditanya malah balik nanya ini orang” kata Reno tergelak. Dengan wajah polos Reno bertanya lagi. “Gue lihat lo ngelamun tadi. Ada masalah man?” Reno bermaksud memancing Nathan untuk cerita sebelum dia berani membahas tentang kepergian Ola.
            “Gue belum rela dia pergi Ren” kata Nathan lirih.
            “Ola maksud lo?” tanya Reno Sok tidak tahu menahu lagi. Ya jelas Ola lah. Siapa lagi? Pikirnya. “Hmmm..gue tadi dapet kabar sih dari Gaby sahabat Ola…” kata Reno sedikit pamer.
            Nathan tersentak. Raut muka yang sebelumnya agak acuh terhadap Reno, kini memandang Reno dan seolah-olah mengatakan ayo lanjutkan. Sementara itu Reno agak tergelak-gelak atas perubahan ekspresi Nathan yang berubah drastis itu.
 “Cepetan!! Ola kenapa?” tanya Nathan tidak sabar. Kini tangannya sudah mendarat diujung kerah Reno.
“Sabar man,!!” katanya sedikit bercanda. “Gini, Ola baik-baik saja. Dia sudah sampai di Malang dari jam satu dini hari tadi. Kata Gaby dia lumayan bisa beradaptasi dengan rumah barunya yang bisa dibilang ….kecil” kata Reno sembari memasang raut muka agak prihatin. Sementara Nathan tampak sedih mendengar hal tersebut.”Tadi pagi Ola udah kesekolah barunya, cuman buat lihat-lihat doank sih. Sekolahnya lumayan nyaman katanya. Nah besok dia mulai masuk sekolah “ tambah Reno lagi.
***

Sekolah yang baru. Kali ini Ola tidak lagi memakai rok kotak-kotak merah dan atasan kemeja putihnya lagi melainkan setelan rok abu-abu lipat yang panjangnya hampir menutupi tungkai kaki dengan kemeja putih berlengan pendek yang didepan sakunya menempel logo OSIS. Sebuah tote bag berbahan kain warna hitam dengan tulisan POSITIVE THINGKING magenta tampak menggantung manis di pundaknya. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai dan sebuah bandana mungil berwarna coklat tua menyibak rapi poni panjangnnya ke belakang. Tadi Ola tidak lupa memoles lipgloss keatas bibirnya, sehingga bibirnya tampak lembab dan menawan. Dia terlihat begitu cantik pagi itu hingga dia dapat merasakan banyak pasang mata yang mengawasinya selama berjalan melewati koridor menuju ke ruang kepala sekolah.
Diruang kepsek Pak Liyono langsung memperkenalkan Ola kepada seorang wanita paruh baya yang jika diamati umurnya melebihi umur ibunya. Wanita itu berkacamata tebal dan besar sehingga tulang pipinya tidak terlihat karena tertutup bingkai kacamata tersebut.
“Ola ini bu Rini, guru Kimia dikelas kamu. Jadwal pelajaran pertama dikelasmu nanti adalah Kimia. Jadi kamu nanti bisa Bareng beliau kekelasnya”
Wanita itu mengulurkan tangannya kepada Ola desertai dengan sesungging senyum “Rini”
“Ola bu. Mohon bantuannya ya bu” kata Ola sembari membalas seyum guru barunya tersebut.
Tidak lama setelah itu sirine bell sekolah telah berbunyi. Suaranya mirip sirine Ambulans. Terdengar menderu-nderu.
“Baik Pak. Saya harus masuk kekelas sekarang. Ayo Ola!!” kata bu Rini setelah sirine bell sekolah tadi selesai berbunyi.
“Iya bu. Saya nitip Ola bu. Dia keponakan saya.” Kata Pak Liyono sembari mengedipkan mata kearah Ola.
“Ola. Semoga kamu kerasan dan betah disekolah ini.” Kata pak Liyono sembari menepuk bahu Ola.
Ola dengan agak ragu memasuki ruangan kelas barunya. Langkahnya sempat terhenti saat melihat pintu kelas terbuka dan bu Rini didepannya telah memasuki kelas. Dia menarik nafas dalam-dalam dan mengayunkan satu kakinya melewati pintu dan akhirnya seluruh badannya telah mutlak berada didalam ruangan kelas barunya itu. Dia melihat sekeliling, tampak siswa-siswa berseragamkan pakaian yang sama seperti yang Ola pakai. Terkecuali siswa cowok dengan setelah celana panjangnya. Penghuni ruangan yang mulanya ribut dengan kegiatan mereka masing-masing  sontak terdiam melihat ada yang berbeda pagi itu.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Pagi buuu…” Suara serentak dari penghuni ruangan terdengar seperti paduan suara. Tetapi paduan suara kali ini tidak dapat dikatakan sebagai paduan suara juga sih. Nggak ada penyeragaman jenis suara sama sekali. Terdengar fals dan amburadul.
“Pagi ini kalian mendapat teman baru..” dan bla..bla..bla… Sementara Ola tampak asyik mengamati ruangan kelas barunya  tanpa mendengarkan penjelasan dari bu Rini disampingnya. Meja dan bangkunya hampir sama dengan meja dan bangku sekolahnya saat masih berada di sekolah menengah. Hanya saja meja kayu itu seukuran 1m x 1m “lebih kecil” dengan laci terbuka dibawahnya dan berpasangan dengan bangku kayu dengan sandaran kotak  , pas untuk ukuran bahu masing-masing siswa. Dikelas itu ada sebuah white board dibagian depan. Dipojok kanan dan kiri terdapat masing-masing sebuah kipas angin.
Kondisinya Berbeda dengan kondisi ruangan kelas di sekolah sebelumnya. Meja dan kursi yang telah terset rapi berjajar dan terletak di masing-masing blok tangga. Untuk kursi bagian belakang terletak satu tangga diatas kursi bagian depannya. Sehingga siswa yang duduk dibagian belakang masih dapat melihat guru yang menerangkan didepan. Didalam kelas terdapat Lcd untuk sarana pembelajarannya, dan ada sebuah speaker dipojok belakang --dikanan dan kirinya-- untuk media penyaluran informasi dari pusat. Dibagian belakang juga terdapat dua buah AC yang tertempel dibagian kanan dan kirinya. Didalam hati Ola setengah menenangkan hati. Kemudian dia beralih ke banyak pasang mata yang memperhatikannya dari depannya.
Ola mengamati hampir satu persatu masa didepannya. Mulai dari pojok kiri belakang. Seorang cowok berambut cenderung acak-acakan berkulit bersih dan berbadan mendekati kurus. Wajahnya tampan dengan tulang muka yang menonjol dan alis yang tebal menambah kejantanan wajahnya. Tatapannya cenderung kurang peduli. Ola mengamati sekeliling cowok tersebut. Ada dua orang cowok yang menatap Ola dengan begitu tertarik. Salah satu tampak sesekali mencoba mengedipkan matanya. Ola mulai merasa risih akhirnya dia beralih kesebelah. Seorang cewek cantik. Sepertinya ada darah Arab didalam tubuhnya. Hidungnya mancung dan bulu matannya sangat lentik. Rambutnya panjang dan lurus, Ola menebak berapa kali dalam seminggu cewek tersebut harus menghabiskan waktunya berjam-jam untuk merawat rambut itu ke salon atau hair treatment sehingga memiliki rambut seindah itu. so shinny. Ola kembali ke mata cewek itu dan memperhatikan bola matanya hingga akhirnya mereka bertemu pandang. Ola sempat melihat bibir cewek itu memincing dan pandangannya begitu sinis. Karena tidak ingin berlama-lama dilema oleh cewek cantik nan sinis itu, Ola menggeser pandangannya lagi hingga kearah seorang cowok yang wajahnya tidak begitu asing. Begitu dia kenal. Cowok itu berkacamata. Kulitnya bersih dan rambut spike agak panjang menghilangkan kesan culun yang ditimbulkan oleh kacamata yang dipakainya. Hidung, mata, dan bibirnya seperti tidak asing baginya. Dia tersenyum. Dia tersenyum? Kontan ola bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan cowok didepannya menyempil diantara teman-teman baru yang lain. Pikirannya melayang-layang. Siapa dia? Pernah ketemu dimana? dan bla..bla..bla..hingga akhirnya bu Rini menepuk pundak Ola dan berkata dengan bibir agar mendekat ke telinga Ola. Karena memang sebelumnya beliau sempat berbicara kata yang sama, tetapi Ola tidak mendengarnya karena begitu asyiknya meraba-raba ruangan baru dan teman barunya dengan matanya.
"Ola ayo perkenalkan namamu!!"
Ola tersentak dari lamunannya. Didepannya ada beberapa teman yang cekikikan karena melihat Ola yang gelagapan setelah dibisiki suara yang frekuensinya seratus kali lebih besar dari sebuah bisikan. Kenapa harus nempel kuping? Protes Ola dalam hati. Ola agak malu. Akhirnya dia mencoba membuka mulutnya
"Halo teman-teman semua. Perkenalkan nama gue.."
Perkenalan Ola terputus oleh celetukan dari Bu Rini yang kini telah duduk di kursinnya.
"Pakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar La!!"
Celetukan itu disusul dengan riuh dan tawa dari masa didepannya.
"Lo kate ini Jakarte?" Ada celetukkan lagi. Ola mencari sumber suara itu. Ternyata cewek cantik keturunan Arab tadi. Dia terlihat tertawa seolah-olah tampak puas.
Kali ini celetukan tersebut disusul oleh suara dari Bu Rini yang terdengar keras dan tegas diikuti oleh suara meja yang dipukul dengan penggaris papan.
"Diam!! Diam!!"
"Ayo Ola lanjutkan!!"
Ola menarik nafas lagi dan mencoba membuka mulutnya lagi. Didalam pikirannya dia mencoba merangkai kata-kata.
"Maaf sebelumnya tadi terjadi kesalahan teknis. Ya maklum lah sudah menjadi suatu kebiasaan" kata Ola seoalah-olah dia merasa tenang. masa didepannya kembali menaruh perhatian kepadannya. Terkecuali cewek Arab tadi. Ola melihat dia begitu kecewa"seperti merasa gagal melakukan sesuatu" melihat perkataan Ola yang tenang tersebut.
"Sebelumnya saya merasa begitu senang bisa bertemu kalian. Bertemu teman yang baru. Yang tentunya nanti akan memberi pengaruh positif untuk saya khususnya dalam bersosialisasi"
"Baik perkenalkan nama Saya Maurola Zivanya. Orang-orang disekitar saya selama ini memanggil saya dengan sapaan Ola."
"Saya pindah dari salah satu SMA di Jakarta."
"Hmm..Salam kenal"
Ola menutup perkataan didepan kelas tersebut dengan senyuman yang begitu manis. Lipgloss yang masih menempel dibibirnya terlihat mengkilap memberi keindahan tersendiri dalam senyuman Ola.
Bu Rini kembali mengambil alih perhatian murid-muridnya itu.
 "Ada pertanyaan seputar perkenalan dengan teman baru?"
Celetukan keras dari barisan belakang mengubah suasana kelas menjadi riuh kembali. "Udah punya pacar belum?" Seluruh isi kelas bersorak kepada si sumber suara.
"Sudah!!Diam anak-anak!!" kata bu Rini setengah teriak.
"Ola silahkan kamu duduk dibangku yang kosong!!"
"Iya bu. Terimakasih" kata Ola sembari melirik bangku yang kosong. Bangku dan meja yang kosong itu tepat dibelakang cowok berkacamata yang membuatnya penasaran tadi. Ola berjalan kearah mejanya.
***
Ngukk..ngukk..ngukk..ngukk..
Magdalena segera meraih ponsel yang ada didalam tasnya. Sebuah nama tampak dilayar ponselnya dan tengah memanggil. Mas Prayoga. Dengan agak ragu Magdalena menekan tombol receive di atas ponsel terebut.
“Halo mas. Kenapa?”
“Halo dek”
“Kamu dimana dek?”
“Sedang ada didalam taksi mas”
“Memangnya mau kemana?”
“Mau ketemu temen mas. Mau nyoba usaha baru, kalau-kalau menjajikan…. Ya, daripada nganggur mas. Ola nanti makan apa.”
“Kenapa nggak hubungi saya dek. Saya bisa nemenin kamu”
“Terimakasih mas. Tetapi saya nggak mau ngerepotin orang lain”
“Orang lain?!” kata itu terdengar agak meninggi.
“Maksud saya selagi saya mampu sendiri, saya akan melakukannya sendiri mas. Saya nggak mau merepotkan siapapun mas. Saya ingin mandiri”
“Saya nggak merasa direpotkan dek. Kamu tahu kan?”
Magdalena menarik nafas dalam-dalam dan membuka mulutnya lagi. “Mas, maaf sebelumnya. Tetapi daripada kita berdebat untuk masalah kecil seperti ini lebih baik kita sudahi saja telephonnya..”
Setelah itu masih-masing diam. Hening. Magdalena merasa agak bersalah karena berkata terlalu kasar. Sedangkan Prayoga merasa bersalah pula karena cenderung terlalu memaksakan diri. Tetapi itu semua tidak lebih karena dia terlalu mengasihi Magdalena.
“Maaf..” tiba-tiba masing-masing mengucapkan kata yang sama secara serentak. Mereka terdiam lagi. Dan akhirnya Prayoga angkat bicara.
“Maaf ya dek. Saya terlalu memaksakan diri.”
“Saya juga mas. Maafkan saya telah bicara kasar kepada kamu. Saya tidak ingin tergantung kepada mas Yoga. Mas Yoga terlalu baik terhadap saya.”
“Saya tahu dek. Kamu sudah sangat saya kenal. Saya berharap kamu tidak perlu sungkan-sungkan jika butuh bantuan. Saya akan selalu ada buat kamu dan Ola dek.”
“Terimaksih mas. Terimakasih karena kamu sudah banyak membantu saya.”
“Sama-sama dek.”
“Hmmm…Nanti malam bisakah kita makan malam bersama?” tanya Prayoga dengan hati-hati takut Magdalena tidak enak hati lagi.
“Saya akan mengajak Joshua juga. Kebetulan dia sedang berada di malang. Jadi jangan khawatir!” tambahnya lagi.
“Saya akan hubungi kamu lagi mas. Saya perlu tanya apakah Ola bisa atau tidak.”
“Iya saya tunggu dek. Semoga Ola dan kamu mau meluangkan waktu untuk ini.”
“Yasudah, selamat beraktifitas dek. Take care..” Terdengar begitu lembut.
“Makasih mas. Kamu juga take care”
Akhirnya pembicaraan dalam tersebut disudahi…
***

Jam istirahat. Ola sedikit merasa bingung mau melakukan apa. Harus beradaptasi lagi untuk mencari teman yang baru. Yang ada dipikiran Ola saat itu hanyalah segera mengemas buku-buku pelajaran yang masih berserakan diatas meja kedalam tasnya kemudian keluar kelas.
 Segerombol siswa yang lain tengah berhamburan ke luar kelas. Beberapa yang lain masih duduk mengobrol dengan teman disamping kanan dan kiri mereka. Ada pula yang masih mengemas buku juga. Ola sempat melihat cewek Arab tadi keluar bersama dengan dua orang temannya dan sempat melirik sinis kearahnya. Ola secara tidak sengaja bertemu pandang dengan cewek itu sehingga dapat merasakan kesinisannya. Tetapi Ola tidak menghiraukan hal tersebut. Dia kembali sibuk dengan kegiatannya mengemas buku dan alat tulisnya kedalam tas.
“Hay La..” Cowok berkacamata yang duduk didepan Ola ternyata kini telah membalikkan badan dan posisinya telah menghadap Ola. Dia tersenyum. Sementara Ola mengerutkan kening karena kembali bingung dengan siapakah sosok yang ada didepannya yang wajahnya begitu dia kenal itu. Dia kembali menebak-nebak dalam hati siapakah cowok itu.
Cowok didepannya itu kontan tertawa kecil. “Kamu pasti bingung ya La. Tiba-tiba ada cowok sok kenal sok dekat gini.”
“Kenalkan, aku Angga putra pak Liyono” kata cowok itu sembari mengulurkan tangan kedepan Ola. Kontan Ola merasa begitu lega. Pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikirannya terjawab sudah. Pantas wajahnya begitu dia kenal. Ola segera menyambut uluran tangan Angga. “Pantas. Gue dari tadi bingung. Bukan karena lo yang sok kenalnya tetapi karena wajah lo itu nggak asing. Ternyata memang mirip banget ya lo sama pak Liyono?” kata Ola tergelak puas.
“Ayahku sempet cerita tentang kamu dan bilang ke aku ‘titip Ola ya!’ Jadi mendekati dan berteman dengan kamu merupakan bagian dari tanggungjawabku La.” Tambah Angga sedikit terkekeh.
“Wah, punya bodyguard khusus ni.” Tambah Ola sambil terkekeh pula.
“Halo Ola cantik” terdengar suara agak genit dari belakang Ola. Ola dan Angga yang yang masih terkekeh akhirnya terdiam dan menoleh kebelakang. Dua cowok yang sempat Ola perhatikan saat perkenalan, datang berjalan menghampirinya. Dua cowok itu adalah cowok yang duduk dibagian kiri belakang yang salah satunya tadi sempat mencoba mengedip-ngedipkan matanya kearah Ola dan sempat membuat Ola risih.
“Istirahat bareng gue yuk!!” kata salah satu cowok yang badannya kurus tinggi dengan rambut ikal yang cukup panjang menutupi kuping dengan logatnya yang setegah medok jawa. Cowok ini yang mengedipkan mata tadi.
“Sama gue aja la” sahut cowok satunya dengan logat yang medok jawa juga. Yang ini badannya nggak terlalu tinggi dan giginya berbehel. Rambutnya juga ikal dan agak gondrong.
“Sama gue aja deh La. Ngapain sama si penthet satu ini? Palingan bakal diajak ngutang kalau istirahat bareng dia. Kalau nggak ya palingan Cuma makan bakso pakMin depan.” Sahut cowok yang pertama sembari menoyor cowok yang berbehel. Kemudian mereka tampak saling berbalas menoyor kepala satu sama lain. Kontan Ola tertawa cekikikan melihat kelucuan dua cowok itu. Sementara Angga yang didepannya hanya terlihat sesekali tersenyum tanpa arti.
“Woy lo berdua!!”terdengar suara keras dari arah belakang. Seorang cowok yang duduk di pojok kiri belakang itu tampak berjalan keluar kelas. Matanya menatap tajam ke obyek yang tidak lain adalah dua cowok yang tengah menggoda Ola tersebut. Dua cowok yang tadinya terlihat slenge’an itu berubah jadi seoalah-olah bawahan seorang majikan yang dipanggil majikannya. Mereka berhenti toyor menoyor dan langsung menghampiri si cowok yang berteriak tadi yang kini telah sampai didepan kelas.
“Dada cantik!!” kata satu cowok yang jangkung sebelum meninggalkan Ola. Cowok yang berbehel juga tidak mau kalah. Dengan secepat kilat dia meraih pulpen dan buku Ola yang masih berada diatas meja. Sementara ola hanya melongo melihat tingkahnya. Dia menuliskan sesuatu di lembar buku bagian belakang. Dan setelah Ola lihat tulisannya adalah:
081 xxx xxx xxx
Iko

“Misccall yah!!” kata cowok itu sebelum meniggalkan Ola dan Angga sembari menempelkan tangan yang tiga jari tengahnya terlipat mendekat ketelinga. Ola makin cekikikan melihat mereka berdua.
“Siapa sih mereka?” tanya Ola penasaran.
“Yang berbehel tadi Iko. Kalau yang tinggi tadi Ardy namanya. Mereka emang kayak gitu kalau lihat cewek cantik.” Jawab Angga sambil terkekeh.
“Cantik?” Ola terkekeh lagi.
“Trus kalau yang satunya?” tanya Ola lagi.
Kini Angga berhenti terkekeh. Dia agak memasang muka serius. “Yang judes tadi?”
“Berarti bukan Cuma gue yang merasa dia judes ya? Kali ini mereka tertawa bersama lagi. Wajah Angga yang serius berubah jadi ceria lagi.
“Namanya Arga. Semua orang disekolah kenal dia sebagai murid yang nakal, sering menggangu teman yang lain, sering bolos dan lain-lain. Banyak murid yang segan sama dia.”
“Segan?”
“Maksudnya takut.”
“Buat apa takut?” tanya Ola sembari merogoh tasnya dan tampak mengeluarkan ponsel yang tergolong ponsel keluaran terbaru. Ola tidak berniat untuk menjual ponselnya tersebut dan mengganti menjadi ponsel murahan. Karena bisa dikatakan ponsel itu merupakan satu-satunya barang yang tersisa  dan menunjukkan kalau dia pernah kaya. Sementara Angga hanya memandanginya sambil tersenyum. Memberi kesempatan Ola untuk membuka ponselnya walaupun tanpa berkata-kata.
“Bentar ya Ngga” kata Ola sembari menekan tombol unlock dan membuka 3 pesan yang telah masuk kedalam ponselnya. Yang pertama
From: My momz
Ola sayang, nanti malam Ola ada ada acara nggak?
Om Prayoga, teman mama. Mengajak kita makan malam bersama. Bisa?
Bales segera ya sayang ^*^
Ola segera menekan tombol option  dan reply disalah satu sub menunya
To: My momz
Ola nggak ada acara kok ma. Bisa,,Bisa..^^
Setelah muncul notifikasi message sent Ola membuka pesan yang kedua.
From: Gaby
Olaaaaa!! Semangat ya disekolah barunya!! Kudu kerasan!! Fighting!!^*^

Ola segera membalas pesan dari teman baiknya itu. Matanya tampak berbinar.
To: Gaby
Makasi Gaby…Gue kerasan kok Hhe..^^
Fighting..!!
Setelah itu Ola membuka pesan yang terakhir. From: Hubbi. Contact name yang dulu begitu sering memenuhi daftar inbox maupun call list nya. Contact name yang masih belum juga ingin digantinya. Ola terbelalak. Nathan?! Sementara sosok Angga didepan Ola yang menunggu dengan setia tadi, mecondongkan wajah lebih kedepan dan agak menrunduk karena saat itu Ola juga langsung merunduk dengan kedua tangan memegang ponselnya.
“Kenapa kamu La?” katanya agak lembut.
“Nggak papa Ngga” kata Ola dengan ekspresi yang datar dan suara agak lirih. Dengan agak ragu Ola menekan tombol open diatas ponsel.
From: Hubii
Nyu, aku denger kamu masuk sekolah hari ini ya? Semangat ya!! Aku yakin kamu akan cepet dapet temen baru. Kamu jangan pernah menyerah.Banyak orang yang support kamu dari belakang. Banyak orang yang menyayangimu.Termasuk aku..:*
Mata Ola sontak langsung berkaca-kaca. Hatinya pedih membayangkan kenangan indah bersama Nathan yang semakin melukai hatinya jika terus diingat. Kenangan yang tidak mungkin berulang kembali. Ola langsung menekan tombol close dari ponselnya dan menyimpan ponsel kedalam saku rok lipatnya. Dan sempat berkata dalam hati “Makasih Than!!”
Kemudian dengan sigap Ola mendongakkan kepalanya dan menatap Angga didepannya yang ternyata masih menaruh perhatian pada Ola yang sedari tadi tertunduk.
“Hmm..lo nggak pengen nemeni gue jalan-jalan keluar Ngaa?” tanya Ola sambil menahan pehit dimulut mengingat Nathan.
“Oh, tentu La. Aku sudah sedari tadi ingin menawarkan ke kamu”

***
Diatas jalan tanjakan belok kekanan ada sebuah tanah cukup datar dan luas yang penuh dengan rumput pendek diatasnya. Nathan memarkirkan Juke nya disitu. Dia keluar dari mobilnya meneteng sebuah kamera ditangannya dimana talinya membelit di lehernya. Nathan menyusuri jalan setapak yang masih basah. Sepertinya beberapa waktu yang lalu kawasan ini habis diguyur hujan. Tanahnya basah memancarkan bau yang khas. Rumput dan daun-daun yang hijau disekitar tampak lebih segar karena debu-debu diatasnya telah diusir halus oleh air hujan yang menumbuknya.
Nathan berbelok kekanan saat bertemu cabang, mendaki jalan setapak yang lain yang dikanan kirinya tumbuh pohon pinus yang tak terlalu tinggi. Ia meraih body kamera mendekatkan didepan matanya, mulai mengatur focus dan zoom lensa kemudian membidik pohon-pohon pinus segar didepannya. Dia melanjutkan perjalanan lagi hingga tiba di ujung. Ada pohon besar disebelah kanan dan kiri. Daunnya rimbun. Menjulur hampir menyatu kepohon satu sama lain. Diantara dua batang pohon itu terdapat celah yang cukup lebar seperti sebuah pintu. Ditengah-tengah dua pohon dan tepatnya didalah celah itu berdiri sebuah bangku panjang dari potongan-potongan kayu yang didudun. Nathan membidik gambar itu lagi. Simetris dari belakang dan agak jauh, sehingga hampir daun dua pohon tersebut tertangkap gambarnya.
Di wajah Nathan terbersit kesedihan yang mendalam. Dia mendekati bangku tersebut. Meraba. Bentuk dan teksturnya masih sama dengan empat bulan yang lalu saat terakhir dia bersama Ola datang ke tempat itu. Bedanya bangku itu sekarang lembab. Perlahan-lahan Nathan duduk diatas bangku tanpa menghiraukan kelembabannya yang bisa saja menimbulkan bekas basah di celana belakang Nathan. Tetapi dia tidak peduli hal itu. Ia menatap kedepan. Sedikit agak kecewa, karena pemandangan yang dia harapkan tertutup kabut. Gundukan-gundukan bukit dan pegunungan tidak terlihat saat itu.
Biasanya sunset dari arah situ tampak begitu indah hingga tidak jarang Nathan dan Ola rela menunggu berjam-jam dibangku tersebut. “Ola lagi” gumam Nathan dalam hati. Kapan dia bisa melupakan Ola yang sudah meninggalkannya. Dia memang sungguh berarti. Dia menorehkan momentum-momentum yang begitu indah. Keceriaannya, manjanya,ngambeknya, sok dewasanya, kecerdasanya, semua-muanya masih hangat didalam ingatan Nathan.
“Bii, sampek berapa lama lagi harus menunggu?”
Nathan sontak kaget melihat Ola menyerbunya dari belakang kemudian duduk disampingnya.Badanya condong kedepan dan tatapanya selalu kedepan. Sesekali memang tampak kakinya bergoyang-goyang kanan, kiri, kanan, kiri. Dia tampak antusias menatap hamparan bukit-bukit yang luas didepannya. Sementara Nathan melongo melihat kedatangan Ola yang tak terduga tersebut. Memandangnya dengan penuh rasa heran tetapi menyenagkan.
“Biasanya jam berapa sih?” tanya Ola lagi.
“Jam setengah enam nyu. Ini masih jam lima. Sabar dikit!!”
“Masih setengah jam lagi donk” kata Ola setelah memperhatikan jam tangannya. “Bosen tau nunggu disini segitu lama” katanya lagi.
“Kamu merasa bosan? Kenapa? Padahal tempat ini sungguh indah. Kamu bisa menikmati hal lain selain sunset disini. Hamparan bukit-bukit didepan sana. Menunjukan kepada kita bahwa dunia itu sangat luas.”
Sementara Ola saat itu memiringkan kepa dan menatap Nathan. Mendengarkan dengan serius tanpa bergeming.
“Coba deh La pejamin mata!!” Ola mengikuti instruksi dari Nathan tanpa berkomentar. Dia terpejam. Nathan menambahkan lagi “Rasakan angin yang bertiup lembut disekitar kita. Menyusup ke dalam telinga dan berbisik lembut ‘kamu itu begitu kecil’. Rasakan seperti itu trus buka matamu.!!”
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Nathan setelah melihat mata Ola terbuka.
“Sepertinya damai. Selain itu aku merasa begitu kecil. Apalagi setelah membuka mata dengan pemandangan  berupa hamparan bukit-bukit yang luas. Dunia begitu lusa ya…”
“Ia sangat luas.” Kata Nathan menyetujui. “Nah, itu seolah-olah sebagai warning buat kita agar tidak menyombongkan diri. Karena sejatinya kita itu kecil…”
“Setuju” seru Ola sembari menganggukan kepala.
Nathan menggeser duduknya dan mendekatkan diri pada Ola. Tangannya hendak meraih bahu Ola dan ingin menyandarkan kepala Ola ke bahnya. Tetapi apa yang dia pegang? Angin. Ternyata dia berkhayal. Sedikit kecewa. Didalam hati ada perasaan yang menantang dunia agar menghadirkan Ola saat itu juga ditengah sepi dan rindunya. Ola. Dia ingin Ola.      

Read More...