1.
PERPISAHAN
“Maaf
ibu harus meninggalkan rumah ini segera” kata salah satu dari dua lelaki yang bertubuh
besar dengan rambut panjang yang terikat kebelakang. Garang. Tetapi nada
bicaranya halus, medok jawa. Sementara orang yang menjadi lawan bicara mereka
tampak duduk terpaku dengan mata berkaca-kaca memegang sepucuk surat yang
mereka berikan sekitar lima menit sebelumnya. Sesekali wanita dihadapan mereka
itu meremas-remas ujung bajunya dan menggigit bibirnya yang gemetar dengan mata
masih tertuju pada nama di pojok kiri bawah. Nama yang tidak begitu asing
dikepalanya. Nama yang sering dia panggil saat hendak melakukan meeting untuk
mempersiapkan jadwal dan proposalnya –walaupun hanya sebagian dari nama panjang
yang tertulis diatas surat itu. KARINA LARASATI. Nama tersebut tiba-tiba
menjadi sebuah nama yang angker dikepala wanita tersebut. Wanita itu tampak meremas
surat yang ia dapatkan. Tangannya kontan meremas kepalanya sendiri dan menangis
terisak-isak tidak percaya dengan kejadian yang terjadi barusan itu.
Iba,
dan ingin menghindar untuk melihat kejadian yang menyedihkan tersebut kedua
lelaki tersebut pamit undur diri sebelum berkata “Ibu diberi kesempatan satu
minggu untuk mengurus semuanya”. Mereka tidak mau terlihat begitu ‘mengusir’ setelah
melihat sekitar lima menit keadaan wanita yang sebelumnya pernah mereka kenal
sebagai salah satu wanita yang namanya ikut dalam jajaran orang kaya di kota
Metropolitan itu.
***
Perasaan
campur aduk, jengkel, sakit hati, sedih, bingung pasti timbul jika terkhianati
oleh orang yang begitu dekat dan begitu dikenal. Begitupulalah perasaan yang dialami
oleh Magdalena. Kehidupan surga dengan limpahan materi dan keluarga yang penuh
dengan kasih sayang (walaupun tanpa suami) telah lenyap begitu saja. Sahabat
yang baru dikenalnya dua tahun terakhir dengan tega mengkhianati
kepercayaannya.
Dengan
menahan rasa sesak didada Magdalena terus memasukkan 5 koper besar yang berisi
pakain dan sebagian barang miliknya dan milik putrinya ke dalam Avanza berwarna
silver hasil rental yang akan mengantar mereka ke Malang¸ kota yang sudah Magda
persiapkan sebelumnya untuk ditinggali. Magdalena menahan bendungan air matanya
agar tidak membanjir membasahi kedua pipinya. Dia tidak ingin membuat Ola
putrinya terus larut di dalam kesedihan, setelah beberapa hari ini murung dan
memilih untuk diam diri di dalam kamarnya.
“Sayang,
walaupun ini begitu berat tetapi kita harus tetap ke Malang. Mama sudah siapkan
kontrakan baru disana. Walaupun tidak sebesar rumah ini tetapi sangat nyaman
kok. Kamu jangan sedih lagi ya!” Magdalena memegang kedua pundak putrinya yang
sedari tadi berdiri terpaku dan terdiam disampingnya yang sibuk mengemas
koper-koper ke dalam bagasi mobil dibantu
oleh supir mobil tersebut. Ola hanya terdiam menatap mata ibunya tersebut. Sedetik
kemudian air matanya menetes. Melihat putrinya menangis lagi, kontan Magdalena
memeluk Ola putri yang amat dia cintainya.
“Ola,
maafkan mama…” bisiknya sembari menahan dadanya yang terasa semakin sesak. Dia
berharap air mata yang sedari tadi membendung di dalam ruang matanya tidak
dengan angkuhnya menetes tanpa mempertimbangkan perasaan putrinya tersebut.
Setelah
beberapa detik membisu didalam sebuah dekapan, Magdalena merasakan tulang
rahang Ola terangkat dan mendengar dia berkata-kata lirih “Ma, aku masih belum
bisa menerima ini. Aku masih belum bisa menerima kenyataan untuk berpisah
dengan semuanya dan menerima keadaan dan orang yang baru”disusul dengan isakan
pelan dari Ola .
Magdalena
semakin memeluk Ola dengan erat. Dia membiarkan tangannya bergerak membelai
rambut Ola yang tergerai sepunggung dengan lembut. Sementara Ola masih dengan
isak tangisnya dan tangan yang tak henti-hentinya membentuk kepalan dan
mencengkeram dipunggung Magdalena. Dia tahu hal ini sungguh terasa berat untuk
Ola. Sekilas dia juga merasa agak bersalah terhadap dirinya sendiri karena
telah sekian tahun memberikan kasih sayang yang terlampau berlebihan sehingga
tanpa ia sadari hal demikian membentuk karakter Ola yang agak manja. Tetapi hal
ini semata-mata karena Ola adalah satu-satunya yang ia miliki setelah almarhum
suaminya pergi meninggalkan mereka, satu-satunya alasan untuk hidup. “Kamu
adalah anugrah terindah yang mama miliki…” bisik Magdalena lembut disusul oleh setetes
air mata yang melaju melewati pipi Magdalena dan terhenti setelah menumbuk bahu
Ola.
***
Hampir
tiga puluh menit yang lalu Avanza Silver yang membawa Ola dan ibunya telah meninggalkan sebuah rumah
elit di kawasan Menteng. Ola duduk termenung disamping jendela mobil sembari
melihat gedung-gedung disebelah kirinya yang tentunya akan menjadi kenangan
untuknya. Ola menarik nafas dan setengah berbisik "Kapan aku bisa balik
kesini lagi?"
Pikiran
Ola kembali kedalam momen sekitar delapan belas jam yang lalu. Sepulang sekolah
tepatnya seusai perpisahan dengan teman sekelasnya, seorang cowok berperawakan
tinggi, berambut setengah sasak dengan jumper menutupi keatletisan tubuhnya ,
dan wajahnya yang oriental menunggu Ola dengan bersandar di tembok tidak jauh
dari ruang kelasnya. Dia tidak lain
adalah Nathan salah satu penghuni hatinya selama dua tahun ini. Ola dengan
gugup mengamatinya dari kejauhan. Mengamati siluet tubuhnya dan menjurus ke
wajahnya yang tertunduk. Ola tidak yakin apa yang sedang dirasakan oleh obyek
yang sedang ia amati tersebut. Hanya saja dia tampak sesekali menggigit ibu
jarinya, yang Ola ketahui Nathan sedang gelisah.
Mengetahui
bahwa objek yang dia amati akan segera menyadari bahwa sedang diamati, Ola
segera memalingkan badan dan berjalan berlawanan dengan arah dimana Nathan
berada. Nathan yang melihat kejadian tersebut berlari mengejar Ola. Sontak Ola kaget saat Nathan meraih tangan dan
menariknya dengan paksa. Sempat Ola melihat mata Nathan yang menatap tajam
kepadanya seolah-olah berkata jangan menolak. Ola tak kuasa memberontak tarikan
yang begitu kuat dari Nathan tersebut. Melewati
koridor sepanjang depan kelas di lantai tiga dan berbelok kekiri menaiki
tangga, berbelok lagi, menaiki tangga lagi, menaiki tangga lagi sampai tangga
terakhir menuju ke puncak gedung sekolah. Ola merasakan perasaan yang begitu
campur aduk. Gugup, takut, sedih, dan merasa bersalah. Dia merasa bersalah karena tidak pernah
menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya dan keluarganya selama kurang
lebih seminggu ini kepada Nathan dan memilih untuk menjauhinya.
Tanpa
Ola sadari mereka berdua telah sampai di rooftop
gedung sekolah. Nathan melepaskan tangan Ola dan berdiri dihadapan Ola.
“Sekarang jelasin…!!” Ola yang saat itu masih mengamati sekeliling yang
lenggang kecuali suara pembuangan udara kotor dari AC didalam sekolah terkesiap
dan memusatkan pandangannya kepada Nathan. Dia agak gugup melihat Nathan yang
tampak begitu marah. Mukanya tampak merah padam dan nafasnya tersengal-sengal
dengan tatapan mata tidak lepas dari mata Ola. “Sekali lagi jelasin La..” ulang
Nathan dengan penekanan pada pada masing-masing kata dan kali ini setengah
berteriak. Mata Ola sontak berkaca-kaca. Dia terdiam. Mulut terasa kelu tidak
dapat berkata apa-apa. Dunia seperti berhenti berputar oleh kesunyian itu.
Suara pembuangan udara yang mulanya terdengar begitu berirama kini seolah-olah
ikut membisu. Suara nafas Nathan yang tadinya juga terdengar begitu
tersengal-sengal kini tidak terdengar lagi. Yang begitu tampak hidup hanyalah
mata Nathan yang menatap Ola dengan tajam mengunci keheningan itu. “Maaf…” kata
Ola lirih diikuti dengan air mata yang menetes.
Kontan
Nathan menarik tubuh Ola. Dia mendaratkan bibirnya diatas bibir orang yang
telah membuatnya gila itu. Menumpahkan segala perasaan yang ada di dalam
hatinya. Pipi Ola semakin basah oleh air matanya yang sekarang membanjir.
Cengkeraman tangan Nathan diatas bahunya itu tidak begitu terasa tertutup rasa
sakit yang ada di dalam hati. Nathan melepaskan bibirnya kemudian memeluk Ola
dengan begitu eratnya dan semakin erat “Nyu..jangan pergi” bisiknya
terbata-bata. Ola dapat merasakan sakit yang Nathan rasakan saat itu. Dia juga
merasakan sakit yang sama. Sakit harus kehilangan orang yang begitu dicintai.
Orang yang telah mengisi hari-harinya selama kurang lebih dua tahun ini.
Ola
melepaskan diri dari pelukan Nathan dan meletakan kedua telapak tangannya
dipipi Nathan “Aku harus pergi than..” kata Ola dengan suara agak serak.
Nathan
melepaskan telapak tangan Ola dari pipinya dengan kedua tangannya dan
menggenggam kedua tangan Ola “Kenapa kamu harus pergi? Aku kecewa nyu, kenapa
aku harus mendengar cerita ini dari orang lain bukan dari kamu sendiri. Kamu
kenapa nggak cerita dari awal ke aku?”
Setelah
terdiam beberapa detik, dan menyusut air mata dengan punggung jari telunjuknya
Ola tersenyum getir dan membuka mulutnya “Itu bukan hal yang gampang than.
Menceritakannya kepada kamu yang memandang aku di awal bukan sebagai aku yang
sekarang”
Seolah
tidak rela dengan jawaban Ola yang begitu mengecewakan, Nathan membuang wajahnya
kesamping seolah mengumpulkan tenaga untuk bicara “Oh begitu kah? kamu picik
ternyata ya La” Nathan melepas kedua tangan Ola dari genggamanya dan
memalingkan diri, menyamping dihadapan Ola dan meneruskan perkataannya “Kamu memandang
aku segitu buruknya kah? Selama dua tahun kita jalan, seperti itukah
anggepanmu?”
“Aku
akui aku picik Than. Tapi itulah manusia. Nggak ada manusia yang nggak punya
motif dalam melakukan segala sesuatu.” Kata Ola getir.
“Aku
nggak habis pikir La..” kata Nathan tanpa mau memandang Ola sedikitpun. Kali
ini dia tampak menerawang keatas memandang langit biru siang itu.
Ola
menarik nafas dalam-dalam “Ok fine. Untuk
kebaikan kamu dan kebaikanku…” dengan terbata-bata dan berat hati “kita..hmmm
se-baik-nya u-da-han aja”.
Otot-otot
bola mata Nathan terasa tertarik kedalam. “What?!
“ Nathan menatap wajah Ola yang tertunduk dan memegang bahunya dan
mencengkeramnya “ Kamu gila La?
Segampang itukah kamu..?”
Sambil
tertunduk dan gemetar Ola mencoba berkata-kata lagi “A-k-u b-e-s-o-k
b-e-r-a-n-g-k-a-t- k-e M-a-l-a-n-g”
Nathan
melepaskan tangannya dari Pundak Ola. Dia tampak resah. Berkali-kali dia tampak
menggigit-gigit ujung jempolnya memikirkan sesuatu, berusaha menjernihkan
pikiran.
Mobil
yang membawa Ola tiba-tiba berhenti mendadak saat pak sopir menginjak pedal rem
mobil. Ola terbangun dari lamunanya. Dia mengambil tisu didalam tas punggung
kecil diatas pangkuannya sesaat setelah menyadari bahwa pipinya telah basah
oleh airmatanya. Ola melirik ibunya yang tertidur disampingnya. Sontak dia
merasakan betapa berat beban yang harus ibunya tanggung. Dia memperhatikan
wajah ibunya dengan perasaan yang begitu sedih. “Maafkan Ola ma…Ola akan
berusaha” ucap Ola lirih. Dia meraih tangan ibunya tersebut dan menggenggam
tangannya dan meletakkan diatas pangkuannya.
***
Ola
dan ibunya tertidur didalam mobil. Perjalan ke Malang ternyata tidak sesingkat
yang Ola bayangkan sebelumnya. Harus menempuh sekitar 17 jam untuk menginjakkan
diri di Kota Kembang itu dari Jakarta dengan mobil. Ngukkk..ngukkk..ngukkk..ngukk..ngukk..ngukk..
Dengan mata
masih berat untuk membuka, tangan Ola meraba ponsel di dalam sakunya jeansnya. Seolah-olah tangan Ola
memiliki mata di jarinya, Ola memencet tombol received diatas ponselnya.
“Halo..”
jawab Ola dengan sedikit malas.
“Ola..udah
nyampek mana?” tampak suara teriakan histeris dari seberang telephon.
Dengan mata
masih tertutup Ola memperbaiki Jok kursi mobil yag mulanya dia miringkan untuk
posisi tidur. “Gaby..!! Heboh banget sih?”
“Gimana
nggak heboh La? Gue mesti pisah dengan sahabat terbaik Gue. Eh..Lo belum jawab
pertanyaan gue tadi. Udah nyampek mana?”
Ola melongok
keluar dan mengamati sekitar. Mencari-cari papan nama mana tahu dia mendapatkan
petunjuk mengenai keberadaan dia saat itu. Karena tidak ada jawaban juga Ola
mencondongkan badan kedepan kearah supir.”Pak, ini daerah mana ya?” Dengan
tidak lepas dari konsentrasi mengemudinya supir itu membuka mulutnya “Solo
neng,”
“O…Solo.
Makasi Pak ya..”seru Ola sembari kembali ke posisi semula.
Diseberang.
Karena tidak mendapatkan jawaban dari penerima telephonnya akhirnya Gaby
terdengar protes “Ehem..cek..cek…Tes..tes..apakah Ola masih ditempat?”
“Iya..iya..bawel.
Kan gue mesti mengamati sekitar. Buat tau ini daerah mana dulu Gaby. Huh…”
gerutu Ola.
“Mengamatinya
lama bener. Sampek gue disini berlumut tau. Hahahaha…Udah nyampek mana Ola
sayang?” kata Gaby dengan penekanan
di kata sayang.
“Nggak
sabaran banget sih. Ini nih..udah nyampek Solo Gaby sayang” kata Ola dengan
penekanan di kata sayang pula.
“Syukurlah.
Hati-hati ya La. O ya, tante Magda lagi ngapain La?”
“Ketiduran
Gab, gue rasa nyokap gue bener-bener capek. Gue nggak pengen ganggu tidurnya,
makanya dari tadi suaraku agak pelan.”
“Maafin gue
ya La, nggak bisa bantu lo apa-apa. Tadi pas lo berangkat juga nggak bisa
bantuin kemas-kemas. Lo tau sendiri kan Pak Budi gimana kalau nggak ikut
ulangannya..”kata Gaby dari seberang yang terdengar begitu menyesal.
“Iya
nggakpapa Gab. Lo udah sempetin telephon aja Gue udah seneng banget”.
“Hmm..Oya..Nathan
udah hubungin lo?” terdengar suara yang begitu hati-hati dari seberang.
“Belum..”jawab
Ola lirih.
“Hmmm..sorry
sorry La. Gue nggak bermaksud..Gu cumin pengen..” sahut Gaby dengan cepat dan
penuh rasa penyesalan.
“Nggak papa
Gab” potong Ola lirih sembari meraba sebuah mockup
sepatu kecil didalam tasnya. Mengambilnya dan menggenggamnya kemudian mendekapnya
diatas dadanya. “Gue udah mencoba mulai terbiasa dengan ketidakbersamaan gue
dan dia Gab.”
“Gue doa’in
yang terbaik buat lo La. Oya..liburan semester depan gue maen ke Malang deh
buat njenguk Lo dan tante Magda”
“Thanks ya
Gab” kata Ola kembali dengan mata berkaca-kaca lagi.
“Ok deh..I think u must go to sleep and enjoy ur
journey” kata Gaby menyudahi pembicaraan mereka.
“Thanks Gab,
I’m sure that u’re really my best
friend.”
***
Didalam
kamar berukuran cukup luas yang penuh dengan poster the beatles dan beberapa
gambar artis barat wanita disatu sisi dinding dan foto-foto bersama Ola di atas
rak kaset disisi tembok yang lain tersebut, Nathan tampak gelisah. Sesekali dia
memandang photo Ola yang jadi wallpaper di ponselnya kemudian beringsut dibawah
bantal. Bangun dan kemudian mondar-mandir nggak jelas dengan posel ditangan.
Kemudian menjatuhkan diri diatas bed nya
lagi.
Kamar yang
biasanya full dengan music the beatles tersebut kini sunyi dan sepi, yang
terdengar hanya suara processor laptop yang masih menyala dan tergeletak
dilantai beralaskan karpet bulu disisi depan bed, Nathan biasa mengerjakan tugas-tugasnya dan beberapa kali
ditemani Ola disitu.
Nathan ingat
betul beberapa waktu yang lalu saat hubungannya dengan Ola masih baik-baik
saja. Ola dengan serius menemaninya
mengerjakan tugas lomba photography untuk sebuah majalah sampai larut malam
diatas karpet tersebut. Dari menjadi model amatiran sampai sekedar membantu
menemani, memberi ide dan saran.
Bayangan Ola
seolah-olah nyata didepan Nathan, serius dan tampak sesekali memainkan jari
tengah dan telunjuknya diatas dahinya –berirama seolah-olah sedang berpikir--
saat melihat Nathan yang sibuk mengatur contras
maupun level untuk mengatur
kualitas pewarnaan gambar. Kemudian jari telunjuk Ola menunjuk ke dalam layar
Laptop didepan Nathan seperti memberi petunjuk dan saran. Nathan dapat merasakan kebahagiaan pada momen
tersebut. Damai, bahagia, serius, tegang. Perasaan itu masih sangat kentara.
Nathan masih
terhanyut dalam lamunan tentang Ola. Sedang apakah dia? Baik-baik sajakah?
Apakah dia mikirin gue? Nathan agak menyesal karena keegoisannya untuk tidak
menghubungi Ola, and then dia tidak
dapat menghabiskan waktu dengan Ola didetik-detik terakhir kepergian Ola ke Malang.
Hingga akhirnya dia telah pergi. Ola dan Ola berkecamuk dalam hati dan pikiran
Nathan.
Sampai pada
akhirnya pintu kamar Nathan berderit dan sesosok wanita separuh baya yang
tinggi dengan panjang rambut ikal sebahu memasuki kamarnya.
“Than, ayo
makan!!”kata wanita itu yang tidak lain adalah ibunya.
Natan
semakin membenamkan kepalanya dibawah bantal bersarungkan logo tim sepakbola
kesukaannya. Wanita itu mengerti dengan keadaan yang sedang di alami putranya
tersebut. Kemudian dia duduk di pinggir bed
dan memegang kaki putranya dan menggoyang-goyangkannya.”Hey, mama tahu
perasaanmu. Turuti apa kata hatimu. Itu yang terbaik sayang” kata Wanita
tersebut kemudian berdiri dan beranjak keluar kamar.”Kalau kamu lapar, makan
malamnya sebagian mama taruh di microwave
biar tetep panas”.
Didalam hati
Nathan mencerna kata-kata ibunya tentang “Kamu turuti kata hatimu. Itu yang
terbaik”. Nathan memegang ponselnya dan mencoba mengetikan pesan untuk Ola,
membacanya ulang menghapusnya, mengetik ulang, membaca ulang, mengedit dan
sampai pada akhirnya, message sent!
To: Unyu
Maaf sebelumnya, karena aku tidak bisa memposisikan diri jika jadi
kamu.
Nyu, apa kabar?
Tak beberapa lama setelah menunggu
dengan gugup ada sebuah pesan yang masuk.
From: Unyu
I’m waiting a message from u Than. So sorry about my egoism too.
Aku baik Than, kamu?
To: Unyu
Seneng dengernya…:)
Kamu harusnya tahu kabarku gimana?
Kali ini
Nathan menunggu cukup lama untuk menerima pesan ini.
From: Unyu
Please, Than. Jangan memulai membuat perjalanan hidup kita kacau
balau lagi. Kamu harus move on. Aku juga…
Ada Stefy who is ready to accompany u to grow up.
Thanks udah pernah jadi bagian hidupku..
Pesan
yang ditunggu cukup lama ini sontak membuat Nathan geram dan kebingungan. Ola
memulainya lagi. Apakah dia tidak tahu perasaanku?
To:Unyu
Maksud kamu tentang Stefy? Move on? Perjalanan hidup kacau balau
apa?
Aku nggak ngerti La..
Nathan
memandang ponsel yang ada ditangannya dan dengan gugup menanti jawaban pesan
yang dikirimkan Ola dari seberang. One
message received. Dengan gugup Nathan membuka pesan itu dan membacanya
pelan-pelan.
From: Unyu
Stefy punya kemampuan dan power untuk membuat kamu berkembang Than.
Kamu tahu sendiri kan, Stefy mempunyai passion di Photo modeling sementara kamu,
passionmu adalah Model Photography. Dia juga lumayan dekat dengan kamu
akhir-akhir ini kan. Dia akan membantu perkembangan cita-citamu. Tinggal
sedikit lagi Than.
Aku juga harus tetap bertahan hidup dan mengejar cita-citaku yang
aku juga belum mengetahuinya. Aku nggak bisa terus begini Than.
Kepala
Nathan mulai panas membaca pesan dari Ola tersebut. Dengan sedikit menahan
emosi Nathan membalas pesan dari Ola lagi.
To: Unyu
Lumayan dekat denganku akhir2 ini? Kamu ingin aku bersama dengan
Stefy sementara perasaan ini masih untuk kamu? There’s no something special
atara aku dan stefy La. Kamu apa2an sih?
From:Unyu
Aku wanita Than. Aku tahu gimana orang sekedar berteman atau suka.
Stefy menyukaimu. Jelaslah, kamu seorang Nathan. Siapa sih yang nggak suka?
Kita sendiri-sendiri aja ya Than.
Hati
Nathan seperti terhujam oleh sebuah belati yang sangat tajam. Sakit. Dia tidak
habis pikir dengan apa yang dipikirkan oleh seorang Ola yang begitu ia kenal.
Tetapi sekarang terasa sangat jauh.
To: Unyu
Sebegitu nggak berharganyakah perjalanan kita selama dua tahun ini
sehingga kamu bersikeras dan berkemauan
seperti itu La?
Aku masih dengan jawaban yang sama La. TERIMAKASIH.
From:Unyu
Bukan yang aku mau Than, tetapi keadaan yang mau. Ini yang terbaik
untuk kita.
Pembicaraan
via message di ponsel berakhir
disitu. Nathan tidak sanggup untuk meneruskan membalas pesan dari Ola yang
sungguh menyakitkan tersebut. Nathan merasa sangat patah hati. Dia terduduk dan
tertunduk didepan Bednya. Ponsel yang
sedari tadi dipegangnya diremas. Tangannya bergerak menekan keypad ponselnya dan masuk kedalam File manager mencari sebuah lagu dan
memutarnya. You took my heart away dari
MLTR.
Staring
at the moon so blue
Turning all my thoughts to you
I was without hopes or dreams
I tried to dull an inner scream but you
saw me through
Walking on a path of air
See your faces everywhere
As you melt this heart of stone
you take my hand to guide me home and now
I'm in love
You took my heart away
when my whole world was gray
You gave me everything
and a little bit more
And when it's cold at night
and you sleep by my side
you become the meaning of my life
Living in a world so cold
you are there to warm my soul
You came to mend a broken heart
You gave my life a brand new start and now
I'm in love
Turning all my thoughts to you
I was without hopes or dreams
I tried to dull an inner scream but you
saw me through
Walking on a path of air
See your faces everywhere
As you melt this heart of stone
you take my hand to guide me home and now
I'm in love
You took my heart away
when my whole world was gray
You gave me everything
and a little bit more
And when it's cold at night
and you sleep by my side
you become the meaning of my life
Living in a world so cold
you are there to warm my soul
You came to mend a broken heart
You gave my life a brand new start and now
I'm in love
Holding your hand
I won't fear tomorrow
Here were we stand
we'll never be alone
Ola
pernah memutarkan lagu ini dari ponselnya saat mereka baru jadian. Kata-katanya
sungguh manis dan menyentuh sehingga Nathan berniat untuk mem-bluthooth lagu tersebut dari ponsel Ola.
Dan lagu tersebut menjadi lagu mereka berdua.
Didalam hati Nathan sempat mencibir dirinya
sendiri yang pernah mentertawakan reaksi Reno sahabatnya saat patah hati dulu. “Lebay
banget lo Ren” kata-kata yang sempat dia lontarkan ke sahabatnya itu dulu.
Sekarang dia baru merasakan bagaimana sakitnya, setelah sekian kali dia yang
membuat beberapa cewek patah hati dengan sikapnya yang bisa dibilang playboy.
Di tahun kedua sekolahnya
semuanya itu kontan berubah setelah kedatangan seorang Maurola zivanya. Ola.
Nathan menemukan something different di
dalam diri Ola. Seorang cewek yang tampil apa adanya dibalik kekayaan yang dia
miliki. Seorang cewek yang tidak memasang tampang manis saat berada dihadapannya.
Seorang cewek yang begitu cuek dengan perkataan-perkataan manisnya. 2 tahun itu
merupakan perjalanan cinta Nathan yang terlama. Tapi kini kandas dengan alasan
yang tidak bisa Nathan terima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar