ian itu Cemploon
Kamis, 11 September 2014
BAGAIMANA DUNIA MAMPU BERJALAN
Di dunia ini ada banyak sekali pribadi dengan prinsip dan watak yang berbeda-beda. Ada yang berwatak keras, ada yang "asal jeplak", ada yang to the point, ada yang pendiam, ada yang "penerima". Tetapi dari sekian watak ini yang mempu membuat dunia bisa berjalan adalah karena adanya orang yang "penerima".
Read More...
Rabu, 16 Januari 2013
SEPATU KACA
2.
BERUBAH
Sekitar
pukul duabelas malam mobil Avanza silver yang membawa Ola dan ibunya berjalan
melambat saat melewati kawasan pegunungan yang gelap dan sepi. Jalanan dapat
dilihat hanya melalui cahaya lampu mobil dan cahaya bulan yang malam itu tampak
bulat bersinar. Ola melihat sekeliling. Tebing-tebing di kanan jalan dan jurang
dikiri jalan. Dia sempat melihat kerlap-kerlip lampu kota disebelah kiri saat mobil
melewati jalan dimana tidak ada pohon yang menutup jurang sekaligus pemandangan
indah itu.
Ola
hendak bertanya mengenai nama kawasan tersebut kepada ibunya yang duduk
disampingnya. Tetapi niatnya urung ketika melihat ibunya sedang menerima
telephon dari seberang dan tampak begitu serius. Lagi-lagi Ola mencondongkan
badan kedepan dan bertanya kepada sopir “Pak sekarang kita sudah sampai mana
ya?”
Dari
samping belakang, pak sopir tersebut tampak tersenyum. Berbeda dengan air
mukanya yang serius tanpa senyum saat ditanya sebelumnya “Sampai di kawasan
batu neng”. Ola agak aneh sih dengan perubahan ekspresi sopir yang membawanya
sedari tadi itu. Dengan agak ragu dia bertanya kepada sopir itu “Pak…saya
melihat bapak tersenyum barusan. Ada apa?” Merasa pertanyaanya kurang pas, Ola
menambahkan lagi “Maksud saya, tadi bapak begitu serius tanpa tersenyum
sedikitpun saat saya tanya sebelumnya”.
Ola
mengernyitkan keningnya dan memicingkan bibirnya, menunggu jawaban dari pak
sopir. Agak gugup dan takut menyinggung Sopir itu.
Sopir
itu tampak tersenyum lagi “Hmm..kita sudah sampai kawasan Batu neng. Sekitar 45
menit lagi kita sudah sampai di lokasi. Jadi saya bisa langsung ketemu keluarga
saya setelah itu”.
Dengan
perasaan lega mendengar jawaban dari Sopir tersebut Ola kontan tertawa.
“O..Keluarga Bapak di Malang?”
“Iya
neng, anak istri saya di Malang. Kebetulan saya dapat kerjaan jadi sopir di
rental mobil ini.”
“Trus,
Bapak balik ke Malang setiap?” Tanya Ola lagi.
“Nggak
tentu neng. Kadang ya sebulan sekali. Kadang 2 bulan. Pernah saya setahun baru
pulang neng.”
“Bapak
pasti rindu dengan keluarga ya. Terakhir pulang kapan pak?”
Terdengar
suara dewasa berceletuk dari belakang “Ola, jangan ganggu pak Jono saat
mengemudi”. Kemudian terdengar pula suara sahutan dari depan “Nggak papa bu
Magda. Saya malah senang ada yang menemani saya ngobrol.”
Ola
melirik ibunya dan tersenyum “Tu kan, ma..”
Sepuluh
menit berlalu, Ola melihat bilik-bilik bambu berjejer disebelah kiri jalan.
Ramai sekali. Hanya daerah itu saja yang tampak terang dengan cahaya lampu.
Tampak sepasang pemuda pemudi duduk
didalam salah satu sekat bilik. Berangkulan. Ada yang bermesra-mesraan. Ada
pula segerombol pemuda pemudi yang asyik bercerita. Minum kopi, makan, membakar
jagung. Terdorong oleh perasaan ingin tahu Ola bertanya kepada pak Jono lagi
"Kalau ini, daerahnya bernama apa pak? ramai sekali".
"Ini namanya
payung neng. Terkenal untuk pacaran" desertai dengan tawa pak Jony.
Pacaran…Pikiran Ola melayang dan bayangan Nathan datang mengacaukan suasana
hatinya. Ola memejamkan mata dan menggeleng-nggelengkan kepalanya mencoba
menghilangkan bayangan Nathan di kepalanya.
***
Suara dering
ponsel Magdalena dari dalam tas tangan yang berada diatas pangkuanya sontak
membangunkan dia dan putrinya yang tertidur selama beberapa jam terakhir.
Magdalena meraba-raba kedalam tas dan mencari ponselnya yang hampir semenit
yang lalu telah meraung-raung menunggu untuk di diangkat.
“Halo..”
Magdalena melirik putrinya yang sedang melongok keluar jendela setelah
terbangun dan melihat pemandangan malam yang gelap selain kilauan cahaya dari
kejauhan.
“Kami sudah
sampai di Batu” katanya setengah berbisik sambil melirik kearah putrinya lagi
yang sedang asyik dengan pemandangan kelam itu.
“Syukurlah.
Saya menunggumu” suara dari seberang.
“Terimakasih..”
kata Magdalena sembari tersenyum
“Saya akan
datang kerumah besok”
“Jangan.
Saya yang akan datang menemuimu. Saya akan menghubungimu sebelumnya”
***
Setelah
membantu menurunkan dan mengangkut semua
koper yang berisi barang-barang ke teras, pak Jono langsung pamit pulang. “Mari
Bu Magda, saya pumit dulu”.
Kemudian Magdalena
masuk kedalam gerbang rumah barunya tersebut, terbuat dari susunan besi bulat
yang tampak sudah rapuh berkarat di beberapa bagian luarnya. Dia melihat
putrinya yang tampak berdiri mengintip kedalam dari jendela kaca depan rumah
itu. Sambil tersenyum Magdalena menepuk bahu putrinya. "Gimana
sayang?"
Ola yang
sedari tadi sibuk melihat-lihat isi dalam rumah lewat jendela tersebut sontak kaget
layaknya seorang pencuri yang tengah mengamati lokasi lewat jendela, eh..tiba-tiba
pemilik mengacungkan belati dari belakang. “Mama, ngagetin aja!!” gerutu Ola.
Magdalena
tersenyum lagi kemudian memeluk Ola. “Maafin mama ya nak, mama cuma bisa
mengusahakan ini”. Ciuman mendarat di pipi Magdalena. “Ola akan berusaha ma.
Ayo masuk!! Udah nggak sabar nih”. Ola menarik Magdalena menuju ke depan pintu
dan mendorong ibunya untuk segera membukakan pintu. Sementara Magdalena sibuk
membuka pintu, Ola sempet menitikan air mata. Dengan secepat kilat dia menyusut
air mata itu dengan punggung jari telunjuknya.
***
Mata Ola
agak silau dengan cahaya yang masuk kekamarnya lewat jendela yang hanya
ditutupi korden transparan berwarna putih disamping kanannya. Menyadari
ketidaknyamanan tersebut Ola membuka mata dan melihat sekeliling. Diatas
kasurnya Ola terlentang menatap langit-langit yang tidak begitu jauh untuk
dijangkau itu. Dia menoleh kekiri, 2 koper berwarna hitam dan ungu masih
berdiri dipojok dekat pintu kamarnya. Disebelahnya agak tengah ada sebuah
almari dua pintu yang tingginya kira-kira sedagu. Sepertinya masih kosong.
Disebelah kiri bed ada sebuah meja
kecil yang berdempet. Ola menoleh ke sebelah kanan. Hanya ada jendela yang
berjajar memenuhi dinding sebelah kanan dan sebuah meja rias berdempet dengan bed. Kemudian mata ola melihat didepan
kasurnya, ada sebuah lemari dengan banyak pintu dan kaca di dua pintu besarnya.
Markas baru, pikir Ola. “Let’s make this
room be a comfortable room yang Gue banget. Dan lupakan yang lalu.
Semangat!! Gue pasti bisa!!” seru Ola walaupun sedikit pahit di mulut untuk
mengucapkannya. Ola beranjak bangun dan membuka koper berwarna ungu yang berisi
pakaian-pakaiannya. Dia membuka kedua lemari yang ada didalam kamar barunya
tersebut. Memikirkan bagaimana cara menata barang-barangnya. Krucuk…niat dan
semangat Ola menyulap kamar barunya tersebut tertunda oleh suara portes dari
perutnya.
Ola keluar
dari kamar dan menuju ke meja makan yang terletak satu ruangan dengan ruang
tamu yang hanya berbataskan sebuah akuariun flat
selebar 2 meter yang diapit dua pot bunga yang cukup besar. “Ma..!!”
panggil Ola sembari mengetuk kamar ibunya yang terletak persis disebelah
kamarnya karena dia tidak menemukan
ibunya diruangan tersebut. Karena tidak ada jawaban, Ola kembali ke Meja makan.
Dia membuka tudung saji diatas meja. Disana terdapat sepiring nasi goreng
dengan satu telur mata sapi diatasnya. Selain itu juga terdapat segelas susu hangat
disampingnya. Mata Ola tertumbuk pada benda asing dibawah gelas susu tersebut.
Sebuah kertas. Ola membukanya dan membaca tulisan yang ada didalamnya.
Nak, mama ada keperluan sebentar. Sekitar pukul 09.00 WIB mama
sudah pulang kok. Nanti mama langsung antar Ola lihat-liha ke sekolah Ola yang
baru. Jadi Ola siap-siap yah! Sekarang Ola sarapan dulu. Selamat makan…
Mama
Ola
melirik jam yang ada dipergelangan tangannya sebelah kiri. “Udah jam Delapan .
Nggak sempet nata-in kamar donk gue”. Seolah masa bodoh, Ola langsung menyantap
nasi goreng buatan ibunya itu.
***
Magdalena
tampak duduk kikuk didepan seorang pria yang duduk bersebrangan denganya itu.
Secangkir kopi dan secangkir coklat panas diatas meja seolah menjadi saksi bisu kekikukan mereka. Sebuah
lagu dari Sierra Especially for You tampak
mengalun menemani keheningan mereka berdua. "Operator musik di caffe ini
sungguh tidak bersahabat. Kenapa diputar lagu seromantis ini?" geram
Magdalena dalam hati. Jantung Magdalena berdebar-debar dengan kondisi kikuk
seperti itu. Perasaan senang, rindu, kikuk bercampur didalam dadanya. Menutupi
rasa gugup, Magdalena menyentuh gagang cangkir yang berisi coklat panas
dihadapannya itu, mengangkatnya dan menyeruput coklat yang ada didalamnya.
"Saya
senang…”kata pria itu mengambang.
Magdalena
kontan menatap pria itu, menunduk dan tersenyum didalam hati. “Saya juga senang
mas…” kata Magdalena juga agak mengambang. Dia meletakkan cangkir coklat panas
keatas saucer dan menyilangkan kedua
telapak tangannya diatas meja.
“Sudah
lama sekali rasanya kita nggak ketemu..” kata pria tersebut sambil menyeruput
secangkir kopinya. “Aku rindu..”kata pria itu lirih.
Sontak
Jantung Magdalena berhenti berdetak, seolah-olah kalimat dari mulut pria
dihadapannya itu mengunci seluruh nafas dan detak jantungnya. Ada sedikit
perasaan senang didalam hati Magdalena. Sudah lama sekali tidak ada seorang
pria yang mengucapkan kata-kata yang membuatnya agak melayang seperti tadi.
Pria
itu menyentuh punggung telapak tangan Magdalena dan menatap sayang ke wajah Magdalena
yang masih tertunduk. “Aku masih sama seperti dulu dek..” Keheningan terjadi
lagi. Mulut Magdalena kelu, tidak kuasa untuk berkata-kata. Dia masih menunduk.
Bayangan Ola tiba-tiba melintas di dalam pikirannya sehingga memberi kekuatan
untuk mengangkat wajahnya dan membuka mulutnya “Saya sangat mencintai Ola
mas..”
Pria
itu tampak mengernyitkan kening. Kini kedua tangannya menggenggam semua jari
Magdalena dan menatap wajah Magdalena. Agak mencondongkan wajah kedepan. “Trus
masalahnya apa dek?”
“Mas
harusnya tahu..”sahut Magdalena lirih.
“Okke..maafin
saya dek!” kata pria itu setelah beberapa detik mencerna kata-kata Magdalena.
“Kapan-kapan saya akan maen ke rumah..” tambah pria itu
“Tapi
mas..” sahut Magdalena dengan secepat kilat.
Pria
itu tersenyum sembari menggerak-gerakkan kedua ibu jarinya diatas punggung jari
Magdalena. “Saya akan mengajak Josua, jadi jangan kuatir.”
***
Sebuah taksi
berhenti didepan sebuah rumah mungil beraksitektur zaman Belanda dikawasan
jalan Anyer tersebut. Ola keluar dari dalam rumah dan melongok mencari tahu
siapa yang datang itu. Seorang perempuan separuh baya memakai terusan sifon
polos berwarna krem dan wedges yang tidak terlalu tinggi keluar dari dalam
taksi tersebut.
“Mama!!”
Serbu Ola kehadapan wanita itu. “Darimana aja?”
Wanita itu
mengangkat beberapa kantong plastik berisi buah, sayur, dan barang-barang lain,
menunjukkan kepada Ola. “Mama habis belanja sayang” kata wanita itu sembari
memberika sebagian belanjaannya kepada Ola
untuk dibawa masuk kedalam. “Langsung dimasukin ke kulkas ya La!!”
pintanya.
Dengan
setengah merengut manja Ola membawa buah dan sayur-sayuran yang berada didalam
kantong plastic yang dibawanya dan kemudian mengaturnya didalam kulkas.
Sementara ibunya mengatur barang-barang yang lain di lemari dapur.
“La, udah
mandi kan? Habis ini langsung berangkat kesekolah ya!! Soalnya agak sorean mama
ada urusan” kata wanita itu sembari mengatur barang-barang yang dibelinya tadi
di lemari dapur.
“Udah donk
ma. Masa udah cantik gini dibilang belum mandi?” kata Ola juga tengah sibuk
mengatur buah dan sayur-sayuran. “Oya urusan apa sih ma?” Tanya Ola pengen
tahu.
“Mau ketemu
tante Amanda yang pernah nginep dirumah itu loh sayang. Mama ada bisnis bareng
tante Amanda”
“Bisnis apa
ma?”sahut Ola
“Bisnis
pakaian, tapi bentuknya seperti apa mama belum tahu. Makanya nanti mau ketemu”
***
Paduan
seragam rok kotak-kotak dan atasan kemeja putih dengan dasi kotak-kotak
menempel setelah membelit dikerah tampak begitu manis di badan Ola. Ola melihat
sekeliling sekolah barunya tersebut. Hanya ada satu gedung berlantai 4 yang
cukup luas dan sebuah bagunan kotak yang cukup kecil bergambarkan grafity ditemboknya disebelah kanan
gedung. Tepatnya disebelah lapangan basket. Disebelah bangunan kecil tersebut
terdapat sebuah bangunan terbuka yang diatasnya bertuliskan KANTIN. Ditempat
itu tampak ramai oleh siswa-siswi sekolah tersebut yang berseragamkan putih abu-abu dan sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bergerombol didua meja yang didempet
jadi satu dengan mangkuk-mangkuk bakso kosong diatas meja. Ada yang hanya duduk
berdua bersebrangan disamping kanan kiri meja. Dan banyak yang lain dengan
kegiatan masing-masing. Ola melongok jam
ditangannya. 09.45 WIB. “Pantes. Lagi istirahat. Makanya rame..” celetuknya.
“Ola..ayo!!”
Panggil ibunya yang telah sampai di bibir koridor sekolah. Sementara dia masih
berdiri dilapangan mengamati sekitar.
Ola
berlari menuju kearah ibunya. Dan kemudian mengikuti ibunya dibelakang. Agak
nggak nyaman sih, saat Ola merasa menjadi sebuah tontonan disepanjang koridor
yang ramai oleh beberapa siswa-siswi yang duduk maupun berdiri disepanjang
koridor. Ola mengamati wajah mereka yang tampak sedang mengamati Ola juga. Ola menambah
kecepatan langkahnya dan mensejajarkan diri disebelah ibunya. “Ma..ada yang
aneh dengan Ola? Kok mereka ngeliatinya kayak gitu? Atau karena seragam Ola
yang beda ya? Mama sih, udah dibilangin Pake pakaian bebas aja. Ngotot nyuruh
Ola pake seragam ini” cerocos Ola pada ibunya setelah melewati koridor yang
agak sepi.
Sambil
tersenyum ibunya menoleh dan menatap wajah Ola sambil berkata dan setengah menggoda
“Itu, Karena Ola cantik”. Kontan saat itu wajah Ola memerah “Ah, mama”.
***
Diujung
koridor mereka berbelok kekanan dan memasuki lorong. Di percabangan lorong
tersebut terdapat plang petunjuk yang
tergantung diatas tepat dibawah langit-langit. Ruang Guru, Ruang kepala
sekolah, Ruang Tata Usaha berada pada sebuah plang yang disampingnya terdapat
panah yang mengarah kesebelah kiri. Maka kedua ibu dan anak tersebut berbelok
kearah kiri. Di pojok lorong tersebut terdapat tempat seperti loket di
bank-bank. Magdalena menarik tangan putrinya menuju ke loket tersebut. “Permisi
mbak, saya mau bertemu dengan Pak Liyono kepala sekolah disini” kata Magdalena
setelah sampai didepan loket kepada perempuan diseberang loket. “Mohon maaf ada
keperluan apa ibu?”Tanya perempuan itu.
“Saya
telah mendaftarkan anak saya disekolah ini. Tetapi semuanya sudah beres kok
mbak. Keperluan saya selain mengambil seragam dan lain sebagainya saya ingin
ketemu dengan Pak Liyono, ada hal yang perlu saya bicarakan dengan beliau”
jawab Magdalena dengan nada bicara yang tegas.
“Boleh
saya tahu nama ibu?” Tanya perempuan itu lagi. Kali ini sembari memencet tombol
yang menyembul di sebelah gagang telephon diatas mejanya.
“Magdalena
Rosalia” kata Magdalena mantap.
Perempuan
itu tampak berbicara dengan orang diseberang. Dia sesekali manggut-manggut.
Nada bicaranya terdengar sangat sopan. Sementara Magdalena berbalik memperhatikan
Ola yang duduk agak jauh dari depan loket tersebut. Ola tampak sibuk menggerak-gerakkan
jempol diatas keypad ponsel yang ada
ditangannya tanpa menyadari bahwa sedang diperhatikan oleh ibunya dari depan
loket. Magdalena hanya tersenyum memperhatikan putrinya tersebut. “Ola semangat
ya!!” katanya dalam hati.
“Permisi
ibu Magdalena. Pak Liyono sudah menunggu diruangannya. Beliau meminta ibu untuk
langsung keruangannya saja” kata perempuan petugas administrasi tersebut
setelah selesai dengan telephonnya.
“Oh..iya.
Terimakasih mbak” kata Magdalena sambil melempar senyum kepada perempuan
tersebut. Magdalena langsung menghampiri putrinya. “Ayo nak!”
Satu
menit berlalu. Pintu sebuah ruang yang tidak jauh dari loket sebelumnya terbuka
setelah Magdalena mengentuknya. Seorang pria separuh baya dengan bentuk badan
yang lumayan tambun dengan jambang di atas bibirnya tampak menyeringai
memnyambut kedatangan Ola dan Magdalena.
“Halo
Magdalena” Kata pria tersebut sembari menyalami Magdalena. Ola yang berada
dibelakang ibunya tampak merasa aneh dengan pemandangan didepannya kali itu. Dia lantas tertunduk saat mata pria
tersebut tertuju padanya. “Ini Ola?”
Tanya pria itu menunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Ola dan tersenyum sembari
menyalami Ola.
“Iya
Yon” sahut Magdalena dari belakang Ola dan pria tersebut.
“Sudah
besar ya. Saya dulu sering menggendong kamu lho waktu kamu masih kecil” kata
pria itu sembari mengacak-acak rambut Ola. Ola tersenyum heran kepada pria yang
seperti sok akrab tersebut. Melihat wajah Ola yang Nampak bingung, pria
tersebut menambahkan “Saya teman mama dan almarhumah papa kamu. Dulu keluarga
saya dan keluarga kamu sering berlibur bersama.”
“Oya..ayo
ayo silahkan duduk!!” kata pria tersebut.
Pembicaraan
Magdalena dan pria yang merupakan kawan lamanya itu berlangsung cukup lama.
Panjang lebar. Mulai dari masa-masa kuliah mereka, masa-masa setelah
berkeluarga, sampai cerita mengenai kehidupan keluarga mereka masing-masing
selama tahun-tahun terakhir. Bernostalgia. Ola sesekali ikut tertawa garing
karena tidak bisa menyatu kedalam pembicaraan tersebut. Dia tampak mengalihkan
kejenuhannya dengan mengotak-atik ponselnya.
“Oya
Yon. Saya titip Ola ya!!” kata Magdalena pada pria itu di menit-menit terakhir.
“Iya.
Jangan khawatir!! Ola sudah seperti anak saya sendiri.” Kata pria itu sembari
menepuk bahu Ola yang duduk tidak jauh darinya.
Kemudian
pria itu mengalihkan pandangan ke wajah Ola. Tangannya memegang lembut bahu
Ola.“Ola, nanti saya kenalkan kamu ke putra saya. Dia kelas sebelas juga
seperti kamu. Mungkin dia bisa jadi teman kamu”
kata pria tersebut dengan wajah yang terlihat begitu sayang terhadap
Ola.
***
Sepi. Orang yang lalu lalang didepan
Nathan serasa hanya sebagai bayangan semu dimatanya. Teriakan beberapa siswa
yang jika didengar as normarly akan
membangkitkan emosi karena benar-benar bisa memecahkan gendang telinga, tidak
memberikan pengaruh yang berarti untuknya. Di bawah pohon beringin ditengah
sekolah itu Nathan tampak duduk merenung. Jiwanya seperti sedang
melayang-layang seperti bosan terus-terusan berdiam diri didalam raga itu.
“Nyu,
kamu ngapain?" katanya lirih masih dengan pandangan yang kosong. Pikirannya
melayang-layang, berputar-putar sampai tertumbuk pada kejadian beberapa waktu
sebelumnya....
“Nyu
senyum!!” Pinta Nathan sembari menekan tombol shoot pada kamera DSLR yang dipegangnya. Sementara objek yang
dibidik dengan bibir memerucut mengacungkan dua jari membentuk tanda peace didekat wajahnya. “Gayanya ganti
ah..” katan Nathan lagi.
“Nathan,
jangan ganggu orang lagi baca deh!!” teriak Ola lalu melanjutkan membaca buku
yang dipegangnya sedari tadi sebelum di pause
oleh action photo tadi. Ola kini tidak
menghiraukan Nathan yang sibuk memotret dirinya. Dari kanan, kiri, depan.
“Ah,
kamu nggak seru!!” Gerutu Natan sembari meletakkan kepalanya diatas pangkuan
Ola setelah tidak ada reaksi perubahan dari Ola.
“Biarin”
sahut Ola tanpa mengalihkan perhatian dari buku yang dibacanya. Nathan
memperhatikan wajah Ola dari bawah, sedikit tertutup buku yang sedang dibaca
Ola sih. Tetapi cukup puas dengan hasil yang dapat dilihatnya. Memperhatikan
keseriusan Ola akan buku itu seakan membuat Nathan geli sehingga sesekali dia
tersenyum. Nathan merasakan kedamaian yang begitu besar saat itu. Kebahagiaan
yang begitu besar. Matanya terpenjam merasakan dan meresapi kedamaian dan
kebahagiaan itu. I’m sure that I’m truly
in love.
“man lo ngapain ngelamun disitu
sendirian?” terdengar suara dari samping yang membuyarkan lamunan Nathan. Dia
menoleh dan menemukan sosok Reno sahabatnya yang berjalan kearahnya. Nathan
kembali menoleh keposisi semula dan tidak menghiraukan Reno yang sudah
disampingnya sekarang.
“Hey,
gue tanya lo ngapain disini sendirian?” tanya Reno lagi, protes karena tidak
ada jawaban dari orang yang diajaknya bicara. Dengan wajah polos seolah-olah
tidak tahu menahu Reno memperhatikan Nathan yang masih mebuang pandangan
kosong. Padahal dia sudah tahu betul mengenai keadaan yang dialami sahabatnya
itu jauh sebelum teman-teman yang lain mengetahuinya. Sehingga dengan membuang jauh-jauh
harga dirinya, dia mendekati Gaby sahabat dekat Ola untuk mengorek informasi Ola
darinya untuk Nathan yang dia yakin tidak akan melakukan hal yang sama seperti
yang dia lakukan.
Dengan
wajah datar, tetapi cenderung kearah kelabu Nathan membuka mulutnya “Menurut lo
gue ngapain?”
“Lah,
ditanya malah balik nanya ini orang” kata Reno tergelak. Dengan wajah polos Reno
bertanya lagi. “Gue lihat lo ngelamun tadi. Ada masalah man?” Reno bermaksud memancing Nathan untuk cerita sebelum dia
berani membahas tentang kepergian Ola.
“Gue
belum rela dia pergi Ren” kata Nathan lirih.
“Ola
maksud lo?” tanya Reno Sok tidak tahu menahu lagi. Ya jelas Ola lah. Siapa
lagi? Pikirnya. “Hmmm..gue tadi dapet kabar sih dari Gaby sahabat Ola…” kata
Reno sedikit pamer.
Nathan
tersentak. Raut muka yang sebelumnya agak acuh terhadap Reno, kini memandang
Reno dan seolah-olah mengatakan ayo lanjutkan. Sementara itu Reno agak
tergelak-gelak atas perubahan ekspresi Nathan yang berubah drastis itu.
“Cepetan!! Ola kenapa?” tanya Nathan tidak
sabar. Kini tangannya sudah mendarat diujung kerah Reno.
“Sabar man,!!” katanya sedikit bercanda. “Gini,
Ola baik-baik saja. Dia sudah sampai di Malang dari jam satu dini hari tadi. Kata
Gaby dia lumayan bisa beradaptasi dengan rumah barunya yang bisa dibilang ….kecil”
kata Reno sembari memasang raut muka agak prihatin. Sementara Nathan tampak
sedih mendengar hal tersebut.”Tadi pagi Ola udah kesekolah barunya, cuman buat
lihat-lihat doank sih. Sekolahnya lumayan nyaman katanya. Nah besok dia mulai
masuk sekolah “ tambah Reno lagi.
***
Sekolah yang
baru. Kali ini Ola tidak lagi memakai rok kotak-kotak merah dan atasan kemeja
putihnya lagi melainkan setelan rok abu-abu lipat yang panjangnya hampir
menutupi tungkai kaki dengan kemeja putih berlengan pendek yang didepan sakunya
menempel logo OSIS. Sebuah tote bag berbahan
kain warna hitam dengan tulisan POSITIVE THINGKING magenta tampak menggantung
manis di pundaknya. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai dan sebuah bandana mungil
berwarna coklat tua menyibak rapi poni panjangnnya ke belakang. Tadi Ola tidak
lupa memoles lipgloss keatas bibirnya, sehingga bibirnya tampak lembab dan
menawan. Dia terlihat begitu cantik pagi itu hingga dia dapat merasakan banyak
pasang mata yang mengawasinya selama berjalan melewati koridor menuju ke ruang
kepala sekolah.
Diruang
kepsek Pak Liyono langsung memperkenalkan Ola kepada seorang wanita paruh baya
yang jika diamati umurnya melebihi umur ibunya. Wanita itu berkacamata tebal
dan besar sehingga tulang pipinya tidak terlihat karena tertutup bingkai
kacamata tersebut.
“Ola ini bu
Rini, guru Kimia dikelas kamu. Jadwal pelajaran pertama dikelasmu nanti adalah
Kimia. Jadi kamu nanti bisa Bareng beliau kekelasnya”
Wanita itu
mengulurkan tangannya kepada Ola desertai dengan sesungging senyum “Rini”
“Ola bu.
Mohon bantuannya ya bu” kata Ola sembari membalas seyum guru barunya tersebut.
Tidak lama
setelah itu sirine bell sekolah telah berbunyi. Suaranya mirip sirine Ambulans.
Terdengar menderu-nderu.
“Baik Pak.
Saya harus masuk kekelas sekarang. Ayo Ola!!” kata bu Rini setelah sirine bell
sekolah tadi selesai berbunyi.
“Iya bu.
Saya nitip Ola bu. Dia keponakan saya.” Kata Pak Liyono sembari mengedipkan
mata kearah Ola.
“Ola. Semoga
kamu kerasan dan betah disekolah ini.” Kata pak Liyono sembari menepuk bahu
Ola.
Ola dengan
agak ragu memasuki ruangan kelas barunya. Langkahnya sempat terhenti saat
melihat pintu kelas terbuka dan bu Rini didepannya telah memasuki kelas. Dia
menarik nafas dalam-dalam dan mengayunkan satu kakinya melewati pintu dan
akhirnya seluruh badannya telah mutlak berada didalam ruangan kelas barunya
itu. Dia melihat sekeliling, tampak siswa-siswa berseragamkan pakaian yang sama
seperti yang Ola pakai. Terkecuali siswa cowok dengan setelah celana
panjangnya. Penghuni ruangan yang mulanya ribut dengan kegiatan mereka
masing-masing sontak terdiam melihat ada
yang berbeda pagi itu.
“Selamat
pagi anak-anak.”
“Pagi buuu…”
Suara serentak dari penghuni ruangan terdengar seperti paduan suara. Tetapi
paduan suara kali ini tidak dapat dikatakan sebagai paduan suara juga sih.
Nggak ada penyeragaman jenis suara sama sekali. Terdengar fals dan amburadul.
“Pagi ini
kalian mendapat teman baru..” dan bla..bla..bla… Sementara Ola tampak asyik
mengamati ruangan kelas barunya tanpa
mendengarkan penjelasan dari bu Rini disampingnya. Meja dan bangkunya hampir
sama dengan meja dan bangku sekolahnya saat masih berada di sekolah menengah.
Hanya saja meja kayu itu seukuran 1m x 1m “lebih kecil” dengan laci terbuka
dibawahnya dan berpasangan dengan bangku kayu dengan sandaran kotak , pas untuk ukuran bahu masing-masing siswa. Dikelas
itu ada sebuah white board dibagian
depan. Dipojok kanan dan kiri terdapat masing-masing sebuah kipas angin.
Kondisinya Berbeda
dengan kondisi ruangan kelas di sekolah sebelumnya. Meja dan kursi yang telah
terset rapi berjajar dan terletak di masing-masing blok tangga. Untuk kursi
bagian belakang terletak satu tangga diatas kursi bagian depannya. Sehingga
siswa yang duduk dibagian belakang masih dapat melihat guru yang menerangkan
didepan. Didalam kelas terdapat Lcd untuk sarana pembelajarannya, dan ada
sebuah speaker dipojok belakang --dikanan
dan kirinya-- untuk media penyaluran informasi dari pusat. Dibagian belakang
juga terdapat dua buah AC yang tertempel dibagian kanan dan kirinya. Didalam
hati Ola setengah menenangkan hati. Kemudian dia beralih ke banyak pasang mata
yang memperhatikannya dari depannya.
Ola
mengamati hampir satu persatu masa didepannya. Mulai dari pojok kiri belakang.
Seorang cowok berambut cenderung acak-acakan berkulit bersih dan berbadan
mendekati kurus. Wajahnya tampan dengan tulang muka yang menonjol dan alis yang
tebal menambah kejantanan wajahnya. Tatapannya cenderung kurang peduli. Ola
mengamati sekeliling cowok tersebut. Ada dua orang cowok yang menatap Ola
dengan begitu tertarik. Salah satu tampak sesekali mencoba mengedipkan matanya.
Ola mulai merasa risih akhirnya dia beralih kesebelah. Seorang cewek cantik.
Sepertinya ada darah Arab didalam tubuhnya. Hidungnya mancung dan bulu matannya
sangat lentik. Rambutnya panjang dan lurus, Ola menebak berapa kali dalam
seminggu cewek tersebut harus menghabiskan waktunya berjam-jam untuk merawat
rambut itu ke salon atau hair treatment sehingga
memiliki rambut seindah itu. so shinny. Ola
kembali ke mata cewek itu dan memperhatikan bola matanya hingga akhirnya mereka
bertemu pandang. Ola sempat melihat bibir cewek itu memincing dan pandangannya
begitu sinis. Karena tidak ingin berlama-lama dilema oleh cewek cantik nan sinis
itu, Ola menggeser pandangannya lagi hingga kearah seorang cowok yang wajahnya
tidak begitu asing. Begitu dia kenal. Cowok itu berkacamata. Kulitnya bersih
dan rambut spike agak panjang menghilangkan kesan culun yang
ditimbulkan oleh kacamata yang dipakainya. Hidung, mata, dan bibirnya seperti
tidak asing baginya. Dia tersenyum. Dia tersenyum? Kontan ola bertanya-tanya
dalam hati siapa gerangan cowok didepannya menyempil diantara teman-teman baru
yang lain. Pikirannya melayang-layang. Siapa dia? Pernah ketemu dimana? dan
bla..bla..bla..hingga akhirnya bu Rini menepuk pundak Ola dan berkata dengan
bibir agar mendekat ke telinga Ola. Karena memang sebelumnya beliau sempat
berbicara kata yang sama, tetapi Ola tidak mendengarnya karena begitu asyiknya
meraba-raba ruangan baru dan teman barunya dengan matanya.
"Ola
ayo perkenalkan namamu!!"
Ola
tersentak dari lamunannya. Didepannya ada beberapa teman yang cekikikan karena
melihat Ola yang gelagapan setelah dibisiki suara yang frekuensinya seratus
kali lebih besar dari sebuah bisikan. Kenapa harus nempel kuping? Protes Ola
dalam hati. Ola agak malu. Akhirnya dia mencoba membuka mulutnya
"Halo
teman-teman semua. Perkenalkan nama gue.."
Perkenalan
Ola terputus oleh celetukan dari Bu Rini yang kini telah duduk di kursinnya.
"Pakai
Bahasa Indonesia yang baik dan benar La!!"
Celetukan
itu disusul dengan riuh dan tawa dari masa didepannya.
"Lo
kate ini Jakarte?" Ada celetukkan lagi. Ola mencari sumber suara itu.
Ternyata cewek cantik keturunan Arab tadi. Dia terlihat tertawa seolah-olah tampak
puas.
Kali ini
celetukan tersebut disusul oleh suara dari Bu Rini yang terdengar keras dan
tegas diikuti oleh suara meja yang dipukul dengan penggaris papan.
"Diam!!
Diam!!"
"Ayo
Ola lanjutkan!!"
Ola menarik
nafas lagi dan mencoba membuka mulutnya lagi. Didalam pikirannya dia mencoba
merangkai kata-kata.
"Maaf
sebelumnya tadi terjadi kesalahan teknis. Ya maklum lah sudah menjadi suatu
kebiasaan" kata Ola seoalah-olah dia merasa tenang. masa didepannya
kembali menaruh perhatian kepadannya. Terkecuali cewek Arab tadi. Ola melihat
dia begitu kecewa"seperti merasa gagal melakukan sesuatu" melihat
perkataan Ola yang tenang tersebut.
"Sebelumnya
saya merasa begitu senang bisa bertemu kalian. Bertemu teman yang baru. Yang tentunya
nanti akan memberi pengaruh positif untuk saya khususnya dalam
bersosialisasi"
"Baik
perkenalkan nama Saya Maurola Zivanya. Orang-orang disekitar saya selama ini
memanggil saya dengan sapaan Ola."
"Saya
pindah dari salah satu SMA di Jakarta."
"Hmm..Salam
kenal"
Ola menutup
perkataan didepan kelas tersebut dengan senyuman yang begitu manis. Lipgloss
yang masih menempel dibibirnya terlihat mengkilap memberi keindahan tersendiri
dalam senyuman Ola.
Bu Rini
kembali mengambil alih perhatian murid-muridnya itu.
"Ada pertanyaan seputar perkenalan dengan
teman baru?"
Celetukan
keras dari barisan belakang mengubah suasana kelas menjadi riuh kembali.
"Udah punya pacar belum?" Seluruh isi kelas bersorak kepada si sumber
suara.
"Sudah!!Diam
anak-anak!!" kata bu Rini setengah teriak.
"Ola
silahkan kamu duduk dibangku yang kosong!!"
"Iya
bu. Terimakasih" kata Ola sembari melirik bangku yang kosong. Bangku dan
meja yang kosong itu tepat dibelakang cowok berkacamata yang membuatnya
penasaran tadi. Ola berjalan kearah mejanya.
***
Ngukk..ngukk..ngukk..ngukk..
Magdalena
segera meraih ponsel yang ada didalam tasnya. Sebuah nama tampak dilayar
ponselnya dan tengah memanggil. Mas Prayoga. Dengan agak ragu Magdalena menekan
tombol receive di atas ponsel terebut.
“Halo mas.
Kenapa?”
“Halo dek”
“Kamu dimana
dek?”
“Sedang ada
didalam taksi mas”
“Memangnya
mau kemana?”
“Mau ketemu
temen mas. Mau nyoba usaha baru, kalau-kalau menjajikan…. Ya, daripada nganggur
mas. Ola nanti makan apa.”
“Kenapa
nggak hubungi saya dek. Saya bisa nemenin kamu”
“Terimakasih
mas. Tetapi saya nggak mau ngerepotin orang lain”
“Orang
lain?!” kata itu terdengar agak meninggi.
“Maksud saya
selagi saya mampu sendiri, saya akan melakukannya sendiri mas. Saya nggak mau
merepotkan siapapun mas. Saya ingin mandiri”
“Saya nggak
merasa direpotkan dek. Kamu tahu kan?”
Magdalena
menarik nafas dalam-dalam dan membuka mulutnya lagi. “Mas, maaf sebelumnya.
Tetapi daripada kita berdebat untuk masalah kecil seperti ini lebih baik kita
sudahi saja telephonnya..”
Setelah itu
masih-masing diam. Hening. Magdalena merasa agak bersalah karena berkata
terlalu kasar. Sedangkan Prayoga merasa bersalah pula karena cenderung terlalu
memaksakan diri. Tetapi itu semua tidak lebih karena dia terlalu mengasihi
Magdalena.
“Maaf..”
tiba-tiba masing-masing mengucapkan kata yang sama secara serentak. Mereka
terdiam lagi. Dan akhirnya Prayoga angkat bicara.
“Maaf ya
dek. Saya terlalu memaksakan diri.”
“Saya juga
mas. Maafkan saya telah bicara kasar kepada kamu. Saya tidak ingin tergantung
kepada mas Yoga. Mas Yoga terlalu baik terhadap saya.”
“Saya tahu
dek. Kamu sudah sangat saya kenal. Saya berharap kamu tidak perlu
sungkan-sungkan jika butuh bantuan. Saya akan selalu ada buat kamu dan Ola
dek.”
“Terimaksih
mas. Terimakasih karena kamu sudah banyak membantu saya.”
“Sama-sama
dek.”
“Hmmm…Nanti
malam bisakah kita makan malam bersama?” tanya Prayoga dengan hati-hati takut
Magdalena tidak enak hati lagi.
“Saya akan
mengajak Joshua juga. Kebetulan dia sedang berada di malang. Jadi jangan
khawatir!” tambahnya lagi.
“Saya akan
hubungi kamu lagi mas. Saya perlu tanya apakah Ola bisa atau tidak.”
“Iya saya
tunggu dek. Semoga Ola dan kamu mau meluangkan waktu untuk ini.”
“Yasudah,
selamat beraktifitas dek. Take care..” Terdengar
begitu lembut.
“Makasih
mas. Kamu juga take care”
Akhirnya
pembicaraan dalam tersebut disudahi…
***
Jam
istirahat. Ola sedikit merasa bingung mau melakukan apa. Harus beradaptasi lagi
untuk mencari teman yang baru. Yang ada dipikiran Ola saat itu hanyalah segera
mengemas buku-buku pelajaran yang masih berserakan diatas meja kedalam tasnya
kemudian keluar kelas.
Segerombol siswa yang lain tengah berhamburan
ke luar kelas. Beberapa yang lain masih duduk mengobrol dengan teman disamping
kanan dan kiri mereka. Ada pula yang masih mengemas buku juga. Ola sempat
melihat cewek Arab tadi keluar bersama dengan dua orang temannya dan sempat
melirik sinis kearahnya. Ola secara tidak sengaja bertemu pandang dengan cewek
itu sehingga dapat merasakan kesinisannya. Tetapi Ola tidak menghiraukan hal
tersebut. Dia kembali sibuk dengan kegiatannya mengemas buku dan alat tulisnya
kedalam tas.
“Hay La..”
Cowok berkacamata yang duduk didepan Ola ternyata kini telah membalikkan badan
dan posisinya telah menghadap Ola. Dia tersenyum. Sementara Ola mengerutkan
kening karena kembali bingung dengan siapakah sosok yang ada didepannya yang
wajahnya begitu dia kenal itu. Dia kembali menebak-nebak dalam hati siapakah
cowok itu.
Cowok
didepannya itu kontan tertawa kecil. “Kamu pasti bingung ya La. Tiba-tiba ada
cowok sok kenal sok dekat gini.”
“Kenalkan,
aku Angga putra pak Liyono” kata cowok itu sembari mengulurkan tangan kedepan
Ola. Kontan Ola merasa begitu lega. Pertanyaan yang berkecamuk di dalam
pikirannya terjawab sudah. Pantas wajahnya begitu dia kenal. Ola segera
menyambut uluran tangan Angga. “Pantas. Gue dari tadi bingung. Bukan karena lo
yang sok kenalnya tetapi karena wajah lo itu nggak asing. Ternyata memang mirip
banget ya lo sama pak Liyono?” kata Ola tergelak puas.
“Ayahku
sempet cerita tentang kamu dan bilang ke aku ‘titip Ola ya!’ Jadi mendekati dan
berteman dengan kamu merupakan bagian dari tanggungjawabku La.” Tambah Angga
sedikit terkekeh.
“Wah, punya bodyguard khusus ni.” Tambah Ola sambil
terkekeh pula.
“Halo Ola
cantik” terdengar suara agak genit dari belakang Ola. Ola dan Angga yang yang
masih terkekeh akhirnya terdiam dan menoleh kebelakang. Dua cowok yang sempat
Ola perhatikan saat perkenalan, datang berjalan menghampirinya. Dua cowok itu
adalah cowok yang duduk dibagian kiri belakang yang salah satunya tadi sempat
mencoba mengedip-ngedipkan matanya kearah Ola dan sempat membuat Ola risih.
“Istirahat
bareng gue yuk!!” kata salah satu cowok yang badannya kurus tinggi dengan
rambut ikal yang cukup panjang menutupi kuping dengan logatnya yang setegah
medok jawa. Cowok ini yang mengedipkan mata tadi.
“Sama gue
aja la” sahut cowok satunya dengan logat yang medok jawa juga. Yang ini
badannya nggak terlalu tinggi dan giginya berbehel. Rambutnya juga ikal dan
agak gondrong.
“Sama gue
aja deh La. Ngapain sama si penthet satu
ini? Palingan bakal diajak ngutang kalau istirahat bareng dia. Kalau nggak ya
palingan Cuma makan bakso pakMin depan.” Sahut cowok yang pertama sembari
menoyor cowok yang berbehel. Kemudian mereka tampak saling berbalas menoyor
kepala satu sama lain. Kontan Ola tertawa cekikikan melihat kelucuan dua cowok
itu. Sementara Angga yang didepannya hanya terlihat sesekali tersenyum tanpa
arti.
“Woy lo
berdua!!”terdengar suara keras dari arah belakang. Seorang cowok yang duduk di
pojok kiri belakang itu tampak berjalan keluar kelas. Matanya menatap tajam ke
obyek yang tidak lain adalah dua cowok yang tengah menggoda Ola tersebut. Dua
cowok yang tadinya terlihat slenge’an itu
berubah jadi seoalah-olah bawahan seorang majikan yang dipanggil majikannya. Mereka
berhenti toyor menoyor dan langsung menghampiri si cowok yang berteriak tadi
yang kini telah sampai didepan kelas.
“Dada
cantik!!” kata satu cowok yang jangkung sebelum meninggalkan Ola. Cowok yang
berbehel juga tidak mau kalah. Dengan secepat kilat dia meraih pulpen dan buku
Ola yang masih berada diatas meja. Sementara ola hanya melongo melihat
tingkahnya. Dia menuliskan sesuatu di lembar buku bagian belakang. Dan setelah
Ola lihat tulisannya adalah:
081 xxx xxx
xxx
Iko
“Misccall
yah!!” kata cowok itu sebelum meniggalkan Ola dan Angga sembari menempelkan
tangan yang tiga jari tengahnya terlipat mendekat ketelinga. Ola makin
cekikikan melihat mereka berdua.
“Siapa sih
mereka?” tanya Ola penasaran.
“Yang
berbehel tadi Iko. Kalau yang tinggi tadi Ardy namanya. Mereka emang kayak gitu
kalau lihat cewek cantik.” Jawab Angga sambil terkekeh.
“Cantik?”
Ola terkekeh lagi.
“Trus kalau
yang satunya?” tanya Ola lagi.
Kini Angga
berhenti terkekeh. Dia agak memasang muka serius. “Yang judes tadi?”
“Berarti
bukan Cuma gue yang merasa dia judes ya? Kali ini mereka tertawa bersama lagi.
Wajah Angga yang serius berubah jadi ceria lagi.
“Namanya
Arga. Semua orang disekolah kenal dia sebagai murid yang nakal, sering
menggangu teman yang lain, sering bolos dan lain-lain. Banyak murid yang segan
sama dia.”
“Segan?”
“Maksudnya
takut.”
“Buat apa
takut?” tanya Ola sembari merogoh tasnya dan tampak mengeluarkan ponsel yang
tergolong ponsel keluaran terbaru. Ola tidak berniat untuk menjual ponselnya
tersebut dan mengganti menjadi ponsel murahan. Karena bisa dikatakan ponsel itu
merupakan satu-satunya barang yang tersisa
dan menunjukkan kalau dia pernah kaya. Sementara Angga hanya
memandanginya sambil tersenyum. Memberi kesempatan Ola untuk membuka ponselnya
walaupun tanpa berkata-kata.
“Bentar ya
Ngga” kata Ola sembari menekan tombol unlock
dan membuka 3 pesan yang telah masuk kedalam ponselnya. Yang pertama
From: My
momz
Ola sayang, nanti malam Ola ada ada acara nggak?
Om Prayoga, teman mama. Mengajak kita makan malam bersama. Bisa?
Bales segera ya sayang ^*^
Ola segera
menekan tombol option dan reply
disalah satu sub menunya
To: My momz
Ola nggak ada acara kok ma. Bisa,,Bisa..^^
Setelah
muncul notifikasi message sent Ola membuka
pesan yang kedua.
From: Gaby
Olaaaaa!! Semangat ya disekolah barunya!! Kudu kerasan!!
Fighting!!^*^
Ola segera
membalas pesan dari teman baiknya itu. Matanya tampak berbinar.
To: Gaby
Makasi Gaby…Gue kerasan kok Hhe..^^
Fighting..!!
Setelah itu
Ola membuka pesan yang terakhir. From:
Hubbi. Contact name yang dulu begitu sering memenuhi daftar inbox maupun call list nya. Contact name yang
masih belum juga ingin digantinya. Ola terbelalak. Nathan?! Sementara sosok
Angga didepan Ola yang menunggu dengan setia tadi, mecondongkan wajah lebih
kedepan dan agak menrunduk karena saat itu Ola juga langsung merunduk dengan
kedua tangan memegang ponselnya.
“Kenapa kamu
La?” katanya agak lembut.
“Nggak papa
Ngga” kata Ola dengan ekspresi yang datar dan suara agak lirih. Dengan agak
ragu Ola menekan tombol open diatas
ponsel.
From: Hubii
Nyu, aku denger kamu masuk sekolah hari ini ya? Semangat ya!! Aku
yakin kamu akan cepet dapet temen baru. Kamu jangan pernah menyerah.Banyak
orang yang support kamu dari belakang. Banyak orang yang menyayangimu.Termasuk
aku..:*
Mata Ola
sontak langsung berkaca-kaca. Hatinya pedih membayangkan kenangan indah bersama
Nathan yang semakin melukai hatinya jika terus diingat. Kenangan yang tidak
mungkin berulang kembali. Ola langsung menekan tombol close dari ponselnya dan menyimpan ponsel kedalam saku rok lipatnya.
Dan sempat berkata dalam hati “Makasih Than!!”
Kemudian
dengan sigap Ola mendongakkan kepalanya dan menatap Angga didepannya yang
ternyata masih menaruh perhatian pada Ola yang sedari tadi tertunduk.
“Hmm..lo
nggak pengen nemeni gue jalan-jalan keluar Ngaa?” tanya Ola sambil menahan
pehit dimulut mengingat Nathan.
“Oh, tentu
La. Aku sudah sedari tadi ingin menawarkan ke kamu”
***
Diatas jalan
tanjakan belok kekanan ada sebuah tanah cukup datar dan luas yang penuh dengan
rumput pendek diatasnya. Nathan memarkirkan Juke
nya disitu. Dia keluar dari mobilnya meneteng sebuah kamera ditangannya
dimana talinya membelit di lehernya. Nathan menyusuri jalan setapak yang masih
basah. Sepertinya beberapa waktu yang lalu kawasan ini habis diguyur hujan.
Tanahnya basah memancarkan bau yang khas. Rumput dan daun-daun yang hijau
disekitar tampak lebih segar karena debu-debu diatasnya telah diusir halus oleh
air hujan yang menumbuknya.
Nathan
berbelok kekanan saat bertemu cabang, mendaki jalan setapak yang lain yang
dikanan kirinya tumbuh pohon pinus yang tak terlalu tinggi. Ia meraih body kamera mendekatkan didepan matanya,
mulai mengatur focus dan zoom lensa kemudian membidik pohon-pohon
pinus segar didepannya. Dia melanjutkan perjalanan lagi hingga tiba di ujung.
Ada pohon besar disebelah kanan dan kiri. Daunnya rimbun. Menjulur hampir
menyatu kepohon satu sama lain. Diantara dua batang pohon itu terdapat celah
yang cukup lebar seperti sebuah pintu. Ditengah-tengah dua pohon dan tepatnya
didalah celah itu berdiri sebuah bangku panjang dari potongan-potongan kayu
yang didudun. Nathan membidik gambar itu lagi. Simetris dari belakang dan agak
jauh, sehingga hampir daun dua pohon tersebut tertangkap gambarnya.
Di wajah
Nathan terbersit kesedihan yang mendalam. Dia mendekati bangku tersebut.
Meraba. Bentuk dan teksturnya masih sama dengan empat bulan yang lalu saat
terakhir dia bersama Ola datang ke tempat itu. Bedanya bangku itu sekarang
lembab. Perlahan-lahan Nathan duduk diatas bangku tanpa menghiraukan
kelembabannya yang bisa saja menimbulkan bekas basah di celana belakang Nathan.
Tetapi dia tidak peduli hal itu. Ia menatap kedepan. Sedikit agak kecewa,
karena pemandangan yang dia harapkan tertutup kabut. Gundukan-gundukan bukit
dan pegunungan tidak terlihat saat itu.
Biasanya
sunset dari arah situ tampak begitu indah hingga tidak jarang Nathan dan Ola
rela menunggu berjam-jam dibangku tersebut. “Ola lagi” gumam Nathan dalam hati.
Kapan dia bisa melupakan Ola yang sudah meninggalkannya. Dia memang sungguh
berarti. Dia menorehkan momentum-momentum yang begitu indah. Keceriaannya,
manjanya,ngambeknya, sok dewasanya, kecerdasanya, semua-muanya masih hangat
didalam ingatan Nathan.
“Bii, sampek
berapa lama lagi harus menunggu?”
Nathan
sontak kaget melihat Ola menyerbunya dari belakang kemudian duduk
disampingnya.Badanya condong kedepan dan tatapanya selalu kedepan. Sesekali
memang tampak kakinya bergoyang-goyang kanan, kiri, kanan, kiri. Dia tampak
antusias menatap hamparan bukit-bukit yang luas didepannya. Sementara Nathan
melongo melihat kedatangan Ola yang tak terduga tersebut. Memandangnya dengan
penuh rasa heran tetapi menyenagkan.
“Biasanya
jam berapa sih?” tanya Ola lagi.
“Jam
setengah enam nyu. Ini masih jam lima. Sabar dikit!!”
“Masih
setengah jam lagi donk” kata Ola setelah memperhatikan jam tangannya. “Bosen
tau nunggu disini segitu lama” katanya lagi.
“Kamu merasa
bosan? Kenapa? Padahal tempat ini sungguh indah. Kamu bisa menikmati hal lain
selain sunset disini. Hamparan bukit-bukit didepan sana. Menunjukan kepada kita
bahwa dunia itu sangat luas.”
Sementara
Ola saat itu memiringkan kepa dan menatap Nathan. Mendengarkan dengan serius
tanpa bergeming.
“Coba deh La
pejamin mata!!” Ola mengikuti instruksi dari Nathan tanpa berkomentar. Dia
terpejam. Nathan menambahkan lagi “Rasakan angin yang bertiup lembut disekitar
kita. Menyusup ke dalam telinga dan berbisik lembut ‘kamu itu begitu kecil’.
Rasakan seperti itu trus buka matamu.!!”
“Apa yang
kamu rasakan?” tanya Nathan setelah melihat mata Ola terbuka.
“Sepertinya
damai. Selain itu aku merasa begitu kecil. Apalagi setelah membuka mata dengan
pemandangan berupa hamparan bukit-bukit
yang luas. Dunia begitu lusa ya…”
“Ia sangat
luas.” Kata Nathan menyetujui. “Nah, itu seolah-olah sebagai warning buat kita agar tidak
menyombongkan diri. Karena sejatinya kita itu kecil…”
“Setuju”
seru Ola sembari menganggukan kepala.
Nathan
menggeser duduknya dan mendekatkan diri pada Ola. Tangannya hendak meraih bahu
Ola dan ingin menyandarkan kepala Ola ke bahnya. Tetapi apa yang dia pegang?
Angin. Ternyata dia berkhayal. Sedikit kecewa. Didalam hati ada perasaan yang
menantang dunia agar menghadirkan Ola saat itu juga ditengah sepi dan rindunya.
Ola. Dia ingin Ola.
Langganan:
Postingan (Atom)